(Revisi)
Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi.
Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
You are my universe My reason to do everything No matter what God knows, You are my universe
.
.
.
"Berhenti melamun dan makan dengan benar, bocah!" desis sulung Couval yang tak tahan lagi melihat adiknya hanya mengaduk-aduk sup sayur dan daging di hadapannya, namun senyum yang teramat samar tak luntur dari bibirnya sejak duduk di meja makan.
"Hm. Iya." Victory akhirnya kembali memasukkan satu suapan ke dalam mulut, dan kali ini senyumnya mengembang lebih lebar. Sumpah, di mata Aldric, Victory terlihat seperti seorang lelaki yang sedang gila karena cinta.
"Kau terlihat senang sekali, Tory. Ada apa?" Rupanya sang kepala keluargapun tak luput dibuat penasaran.
"Hehehe... Kakak, Papa, Mama, ada yang ingin Tory katakan."
Sontak semua yang mengelilingi meja makan itu menaruh atensi pada yang tengah berbicara.
"Profesor Ludwig sudah memberitahu jadwal resital VIP. Acaranya awal musim panas tahun depan dan masing-masing dari kami akan membawakan dua lagu. Kami dibebaskan untuk tampil solo, dengan instrumen tambahan atau bersama orkestra. Jadi kubilang aku ingin mencoba dengan orkestra," tutur Victory dengan intonasi yang meninggi, terbawa perasaan senang.
"Menurut Kakak, aku harus membawakan piece apa? Mama punya ide tidak?" Manik kembar anak itu berbinar menatap satu persatu anggota keluarganya bergantian.
"Kau masih memikirkan resital itu?" suara Aldric setelah beberapa detik terlewati dalam diam.
Pertanyaan tersebut sontak membuat Victory tercekat. Ia menatap penuh tanya.
"Tory, kau pasti akan lupa waktu saat berlatih nanti. Dan tampil bersama orkestra itu sangat melelahkan. Kau harus mempersiapkannya dua bulan sebelum konser, lalu latihanpun akan banyak menyita waktu," nada bicara Aldric mulai meninggi, dibarengi tatapan tajam dan kening yang sedikit berkerut. Bukan marah, tapi si sulung ditelan rasa cemas.
Victorypun mengerjap tak nyaman. Ia kemudian menatap kedua orang tuanya bergantian. Kali ini ia berhasil mendapati ekspresi kontra di wajah mereka.
"Ma..? Kenapa Mama diam?" suara anak itu, ragu. Tatapnya penuh harap bahwa Mama akan memintanya untuk terus maju seperti biasa.
Setelah menghela nafas berat, sang ibu berucap datar, "Bukankah sudah jelas? Lupakan resital itu. Fokuslah pada kesembuhanmu."
Pegangannya pada sendok dan garpu melemah. Ia lalu beralih memandang sang ayah yang hanya terdiam, menatap iba.
"Jadi kalian ingin aku berhenti?" lirihnya. "S-setelah usaha yang ku lakukan.. Mama ingin aku membatalkan resital.. Semudah itu..?" Ada sorot kecewa, nafas yang memburu, juga gemeletuk di antara gigi-giginya, menandakan betapa ucapan keluarganya malam ini melukai perasaannya.
"Tory sayang.." Hubert akhirnya ikut dalam pembicaraan. "Demi kesehatanmu, Nak.. Kau harus mengurangi kegiatanmu mulai sekarang. Kami khawatir, kau akan tumbang kapan saja. Lebih baik banyak-banyaklah beristirahat. Nanti saat kau sembuh, kau bisa bermain piano lagi."
Walau diucapkan sehalus mungkin, perintah Hubert bagai pisau tajam yang membelah dada Victory tanpa belas kasih. Mata anak itu mulai berkilap, namun ia berusaha keras menahan butir bening yang hampir luruh. Ini sungguh sakit, jauh lebih sakit dari cambukan yang diberikan Mama setiap dia kalah. Victory membuka mulut, meraup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya yang seakan terjepit. Ia menggeleng pelan sembari berucap, "Aku tidak selemah itu. Belum.." iris peraknya kembali memindai satu persatu wajah keluarganya. "Mama bisa memakiku. Pukul aku sebanyak yang Mama mau, aku bisa menahannya. Tapi jangan menghentikan mimpiku seperti ini." Walau nada bicaranya tetap rendah, jelas terdengar penekanan di setiap kata, membuat atmosfer makan malam terasa semakin berat.
"Gerakanku akan terbatas. Aku akan lumpuh dan menjadi tidak berguna cepat atau lambat. Jadi sebelum itu.." Jatuh juga setetes kristal bening dari mata anak itu diiringi satu isakan yang tak sengaja lolos. "Sebelum itu terjadi.. Izinkan aku hidup sepenuhnya."
Seketika ia beranjak dari kursi dan berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan piring berisi makanan yang hampir tak tersentuh.
"Vitcory, jangan begitu, Nak." Hubert segera menyusul putranya.
Langkah anak itu terhenti sebelum ia membuka pintu kamarnya. Ia kembali melayangkan sorot pedih pada tiga yang masih tertinggal. "Dokter Martin pasti telah mengatakan ini pada kalian. Belum ada cara spesifik untuk menyembuhkan Neuroblastoma."
Pernyataan itu bagai berliter-liter air dingin yang menyiram tepat di kepala Bellatrix, Hubert, dan Aldric. Jauh lebih dingin dari akhir musim gugur di luar sana. Mereka membeku. Tanpa diucapkan secara langsungpun, mereka dapat mendengar suara keputusasaan si bungsu atas nasibnya.
"Victory, habiskan makananmu. Kau harus minum obat!" Bentakan Bellatrix nyatanya tak mampu lagi mengendalikan si bungsu seperti biasa.
Ia membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Menarik kasar laci nakas, mengeluarkan obat-obatan dengan brutal lalu menelannya sekaligus. Kemudian Victory melemparkan tubuhnya ke ranjang, tengkurap membenamkan wajahnya pada bantal. Tangis sesenggukan itu ia tahan sembari menggigit bantal itu dengan tangan yang sesekali memukul kasur.
Bukan. Victory bukan marah pada keluarganya. Ia hanya terlalu bingung atas apa yang terjadi. Ia bahkan tidak mengerti kenapa hatinya sesakit ini. Jika seumur hidup Mama terus mendorongnya untuk mencapai kemenangan, bahkan tak pernah main-main memberikan hukuman ketika dia melakukan kesalahan, mengapa kini Mama berubah begitu cepat?
Sejujurnya, inilah salah satu alasan Victory menyembunyikan sakitnya dari keluarga. Yang buruk dalam tubuhnya memang menakutkan, apa lagi dihadapkan dengan kenyataan bahwa waktunya akan terjeda kapan saja ketika tubuhnya tiba-tiba mati rasa. Tapi yang lebih menakutkan adalah kemungkinan bahwa orang di sekitarnya bertindak mendahului penyakit itu untuk membatasi pergerakannya, membatasi mimpinya.
"Tuhan... Kau tahu mereka adalah bagian dari mimpiku. Mereka adalah semestaku. Ku mohon, beri aku kesempatan untuk mewujudkannya.."
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
And you are indeed my universe, Victory.😭
Hai! Ada yang nungguin cerita ini gak? Maaf yaaa lama gak update, sekali update kayaknya gak jelas banget nih chapter.🙈
Seperti yang pernah kukatakan, my. Otakku bener-bener hilang di jalan.🤣 Sumpah sibuk banget akhir-akhir ini, mesti mendaki gunung melewati lembah bawa kendaraan sendiri sampe gak sempet mikir yang lain. 🤣