(Revisi)
Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi.
Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
.
"Kau harus segera menjalani terapi, sebelum Neuroblastoma ini menuju tahap kompleks, Victory. Katakanlah pada keluargamu. Aku khawatir, jika hanya terus-menerus mengkonsumsi kortikosteroid malah akan berakibat buruk untuk liver dan ginjalmu."
Sepasang kaki jenjang itu ia langkahkan keluar dari ruang kerja Dokter Martin setelah mendapat hasil pemeriksaan. Ia memang berinisiatif untuk mencari tahu keadaan terkininya setelah merasa sakitnya datang lebih sering. Dan tentu saja kabar yang didapat semakin membulatkan dugaannya. Tatapan cemas Jimin adalah hal pertama yang menyambutnya.
"Bagaimana?" Pertanyaan dilontarkan Jimin seiring tangannya yang meraih lengan Victory.
Yang ditanya hanya memandang enggan, namun sebisa mungkin menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Tidak ada yang serius."
Tentu Jimin tidak percaya begitu saja akan ucapan Victory. Ditatapnya amplop lebar di genggaman anak itu, dan ia merebutnya tanpa pikir panjang.
"Apa maksudnya ini..?" gumamnya ketika menamatkan kata demi kata dalam rekam medis. Raut terkejut muncul begitu saja. Kertas itu Jimin angkat, seolah ia ingin menunjukkan tulisan yang sudah Victory ketahui. "Kau bilang ini tidak serius? Vi, bergentilah tersenyum seperti itu. Kau tidak baik-baik saja."
Raut pemuda itu masam seketika. Sadar akan keadaan sahabatnya yang tidak baik, Jimin membimbingnya menuju bangku terdekat. Mereka masih sama-sama terdiam di area taman rumah sakit. Jimin yang ingin menunggu respon dari Victory, dan Victory yang masih berusaha berdamai dengan hati serta pikirannya.
"Mama dan Kakak sedang senang karena Kakak baru saja diangkat sebagai musisi tetap di Philharmonic. Dia juga sedang direkomendasikan untuk menjadi dosen di Charles University. Mungkin Kakak akan kuliah S2 tahun depan," ucap Victory yang kali ini kembali memasang senyum aneh. Ia lalu menelengkan kepala pada Jimin yang memusatkan seluruh atensi padanya.
"Papa... Dia sangat menginginkan pensiun dini agar bisa berlibur dengan kami, dan fokus mengembangkan usaha propertinya, Jim. Dia pasti butuh banyak biaya untuk itu." Victory kembali menatap lututnya. "Darah rendah Mama.. juga sering kambuh akhir-akhir ini."
"Aku tidak mungkin membawa kabar buruk di saat seperti ini.."
Dengan lembut Jimin memposisikan tangan kirinya di pundak Victory, berusaha memberi dukungan. "Vi, pikirkan dirimu sendiri. Saat ini, kaulah orang yang paling butuh pertolongan. Soal biaya aku bisa membantumu. Ayahku menganggapmu sebagai putranya sendiri. Dia tidak akan keberatan kalau__"
"Kau mau aku mati meninggalkan banyak hutang, Jim?"
"Astaga. Kau tidak akan mati! Kau akan tetap bermain piano, menikahi gadis yang baik, mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan, lalu memelihara seekor anjing, dan berlibur ke Swiss seperti yang kau inginkan, Vi! Setidaknya berusahalah. Kalau memang orang tuamu tidak bisa membantu, ada aku. Aku akan membantumu!" seru Jimin yang mulai frustasi menghadapi teman keras kepalanya.