5. Burger dan Tarian Merak

589 100 17
                                    

Nada-nada yang tersusun dalam manuskrip kini mengalun lewat tarian jemari lincah di atas tuts monokrom, menggema dalam ruang berperedam. Sesekali bola mata Victory akan mengarah pada rangkaian not di hadapannya, lalu kembali fokus pada pergerakan jari-jarinya. Perlahan senyum puas terpatri manis di bibir ketika ia menyadari dirinya mulai lancar memainkan lagu yang nantinya akan ia bawakan bersama Adity dalam ujian gadis itu.

Beberapa menit berlalu kala Victory mengulang lagu untuk keduakalinya. Kini ia telah mencapai bagian chorus. Semua masih berjalan lancar sampai gerak jemari Victory tiba-tiba terhenti pada satu nada. Mendadak jari-jari tangan kanannya kaku dan lengannya terasa berat sekuat apapun ia mencoba bergerak, hingga akhirnya tangan itu terkulai di atas tuts piano begitu saja. Seketika Victory dilanda kepanikan dalam hatinya.

Bagaimanapun, ia mencoba menenangkan diri. Menarik dan mengembuskan napas perlahan sebanyak tiga kali dengan mata yang tertutup untuk meredakan gejolak tak menentu dalam hati. Butuh beberapa detik sebelum ia mencoba menggerakkan jemarinya kembali.

Bisa.

Perlahan Victory membalik telapak tangannya, menatapnya lamat. Apakah ini mulai memburuk? Jika dalam kompetisi jemarinya tiba-tiba mogok bekerja di tengah-tengah lagu begini, sudah pasti ia akan didiskualifikasi. Sejujurnya, Victory tak pernah memikirkan menang atau kalah. Namun, yang paling ia risaukan adalah orang yang selalu mengharapkan kemenangannya, Mama. Selama hidup, Victory selalu ingin menyenangkan hati ibunya. Dan membawa pulang kemenangan adalah satu-satunya cara Victory membuat Mama tersenyum padanya. Lalu apa yang harus ia jelaskan jika nanti ini terjadi? Bermain tak sesuai metronom saja membuat tangannya terluka hingga tak bisa bergerak bebas selama lima hari dan kehilangan biaya hidup untuk beberapa minggu. Bila berhenti di tengah concours atau resital, bisa saja ia akan kehilangan nama belakang dan tempat tinggal.

Setelah cukup lama larut dalam pemikirannya, perhatian Victory sontak teralihkan pada pemandangan yang tampak berbeda di balik jendela kaca studio tepat di hadapannya. Di luar hujan mulai turu.

*

Waktu telah menunjukkan pukul 15.16 ketika gadis itu sampai di jajaran area studio kampus. Hatinya sedikit kesal karena hujan tak mau menunggu barang sejenak agar dirinya dapat melangkah dengan tenang, malah turun tanpa basa basi saat ia masih berada di tengah perjalanan. Adity tak menyangka dirinya harus datang terlambat di pertemuan kedua ini. Seniornya pasti akan marah, pikirnya.

Sebelum memasuki studio kampus itu, si gadis melepaskan coat hitam yang ia kenakan, mengibaskannya sekali untuk menyingkirkan titik-titik air yang menempel dan membuat lengas. Iapun menyiapkan diri kalau-kalau mendapatkan kemurkaan dari si senior. Bukankah orang yang lebih banyak tersenyum itu kemarahannya bisa sangat menakutkan? Namun, saat memasuki tempat latihan ia justru mendapati ruangan yang kosong. Tidak ada punggung lebar pria yang duduk di kursi piano seperti yang ia lihat di sesi latihan pertama dua hari lalu.

"Wah... Ini lebih buruk dari kena marah. Dia langsung pergi. Habislah aku," gumam Adity sambil menepuk keningnya sendiri.

Tangannya bergerak cepat menyisir ke dalam ransel kulit cream untuk mencari letak ponsel. Ia harus menghubungi Victory, setidaknya untuk meminta maaf. Sembari mengutak atik benda pipih canggih itu, ia mondar mandir dan iseng membuka pintu lain dari studio yang letaknya berseberangan dengan pintu masuk. Namun, apa yang ia lihat sontak menghentikan pergerakannya.

"Senior..?"

Hanya beberapa meter dari pintu belakang studio, pria muda itu berdiri di tepi koridor. Menyelipkan kedua tangan dalam saku coat, sedikit mendongak menatap udara di depannya seolah tengah mengagumi butir-butir bening yang berjatuhan dari sana. Ia bahkan tak menyadari kehadiran gadis juniornya.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang