(Revisi)
Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi.
Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
.
Victory terbangun tengah malam kala kantung kemihnya terasa penuh. Ia keluar dari kamar menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Ketika melewati ruang di depan kamarnya, kamar kakaknya dan studio, samar rungunya menangkap suara dari studio kecil tempat ia dan sang kakak biasa berlatih piano bersama Mama. Karena penasaran, setelah menuntaskan urusannya Tory pun bergegas mendekati ruangan itu, mengintip dari jendela kaca kecil di samping pintu. Terlihat sosok Aldric yang tengah duduk di balik upright piano hitam, menekan-nekan tuts dengan cukup serius dan terlihat sedikit bingung. Ia tersenyum. Kakaknya itu benar-benar makhluk nokturnal, lebih suka bekerja di tengah malam begini. Lalu tanpa berpikir panjang Tory membuka pintu studio, melongokkan kepalanya ke dalam sembari mengumbar lengkung indah di bibir.
"Hei." Sadar seseorang tengah mengawasi, Aldric menghentikan permainan dan menyapa. "Masuklah. Nanti musiknya membangunkan orang-orang."
Pemuda dalam balutan piyama panjang hitam-putih tersebut melangkah ringan menghampiri sang kakak setelah menutup pintu berlapis dua dari kamar tidur yang disulap menjadi studio mini oleh Papa. Kini ia telah duduk di kursi piano, bersebelahan dengan kakaknya. Mata peraknya mengamati partitur di atas tuts sekilas.
"Kakak mengerjakan lagu baru?" tanyanya.
"Hanya musiknya. Bukan aku yang membuat kok," jawab Aldric dengan intonasi yang selalu rendah.
Victory mengangguk paham, sebab iapun telah membaca siapa penulis lagu itu. "Tulus. Siapa dia, Kak? Apa orang luar lagi?"
"Hum. Musisi Indonesia. Dia juga akan menyanyikan lagu ini sendiri."
"Jadi dia akan kemari?"
"Tentu saja, setelah musiknya selesai."
"Oh..." Untuk kesekian kalinya Victory manggut-manggut, sementara sang kakak kembali menekan-nekan tuts monokrom untuk menemukan melodi yang tepat.
Kurang lebih tiga menit hingga denting terakhir dimainkan. Susunan cordnya membuat Victory tergelitik untuk menanyakan banyak hal tentang lagu yang tak ia pahami bahasanya ini.
"Bagaimana menurutmu?" Aldric melontarkan tanya sebelum Victory sempat membuka mulutnya.
Si bungsupun tersenyum lebar. "Kau selalu hebat, Kak. Penyanyi itu pasti sangat puas dengan hasilnya."
Victory menggeleng cepat dengan mata yang melebar, menunjukkan kesan lucu di mata sang kakak. "Kakak memang seperti itu, kok."
Mereka pun kembali diam sampai Aldric bertanya, "Kau... Mau coba? Mainkanlah. Siapa tahu kau ada ide yang lebih baik."
Mata pemuda itu terbelalak senang. Ia lalu kembali mengangguk antusias dan menatap partitur dengan seksama. Tangannya mulai menyentuh tuts dan memainkannya sesuai manuskrip.