1. Hujan dan Pertunjukan

2.5K 141 40
                                    

Praha, musim gugur 2015

Gadis berambut ikal sepanjang pinggang itu berlari kecil menembus butiran air yang mulai ganas membumi, menuju tempat berteduh terdekat yang dapat dijangkau. Sampailah ia di teras Show Hall universitas yang tampak ramai oleh beberapa orang yang bertujuan sama dengannya, dan beberapa yang tengah berlalu lalang entah melakukan apa. Disandarkan tubuh tinggi sintalnya di dinding dengan sedikit penyesalan dalam hati, kenapa dia harus menemani Luisa di kafetaria untuk mendengarkan curhatan roman picisan tanpa sadar bahwa mendung menggantung di langit. Alhasil dirinya tak bisa pulang cepat untuk segera beristirahat hari ini.

Ransel cream itu ia peluk erat, mengusir dingin yang makin menelusup lewat sela-sela hoodie. Ini benar-benar menyebalkan. Namun setelah hampir 15 menit merasa akan segera mati bosan, ia menyadari jemari kakinya yang tertutup oleh flat shoes cokelat telah bergerak mengikuti... Alunan piano? Bahkan tubuh gadis tersebut menyadari dentingan indah di antara rinai hujan lebih dulu daripada rungunya. Adity, gadis berparas khas kaukasoid itu kemudian menyibakkan rambut ke belakang telinga, berusaha menajamkan pendengaran. Alunan nada yang dinamis tersebut berhasil mengusik hatinya, hingga membawanya mencari sumber suara.

Ketemu. Hanya sekitar 3 meter dari tempat semulanya berpijak, salah satu pintu ruangan besar berperedam itu sedikit terbuka hingga memungkinkan suara dari dalam menerobos keluar. Dan dari kilatan cahaya, juga tenangnya suasana di dalam sana, Adity berasumsi bahwa sebuah konser atau resital tengah berlangsung. Entah dorongan apa yang membuat si gadis bermata lebar begitu penasaran hingga membuka pintu itu pelan, lalu memasuki tempat pertunjukan tanpa ragu.

Di area bangku penonton bagian atas yang gelap, mata dan telinganya tak dapat lepas dari seseorang di bawah sana. Seorang pria berjas hitam dengan korsase putih berbentuk bunga atau semacamnya di dada kiri. Sang pemeran utama dalam pertunjukan yang mungkin baru menginjak usia awal 20an itu memainkan tuts monokrom di hadapannya dengan begitu dinamis. Si gadis pun mendudukkan diri di satu bangku, mencoba memfokuskan pandangan pada objek utama.

Shostakovic's Waltz No. 2. Iris madu itu berbinar sempurna begitu mengingat judul dari susunan nada yang tengah mengalun, seiring dengan datangnya pertanyaan dalam benak, bagaimana bisa lagu itu menjadi sangat berbeda? Terkesan lebih emosional, pikirnya.

Aneh. Kendati permainan sang pianis terdengar begitu dinamis dengan part-part yang terkadang terasa menggebu lalu melirih secara tiba-tiba, juga tempo yang menjadi lebih beragam, dari yang terlihat di layar proyektor sisi kiri panggung, pemuda itu menunjukkan ekspresi yang cukup tenang. Matanya hanya menatap lurus pada tuts, dan sesekali terpejam. Bibirnya bahkan tampak tersungging samar sesekali.

"Aku hampir lupa kalau ini karya Shostakovich." Satu suara pria yang dibuat sedikit berbisik berhasil ia dengar, tepat di sebelahnya. Pria itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat kentara. "Anak itu benar-benar luar biasa."

"Ya... Tapi aku tidak yakin dia akan memenangkan concours dengan permainan seperti itu." Kali ini aksen Amerika terdengar penuh sesal dari wanita yang duduk di sisi lain pria itu.

Dalam gelap, si gadis sempat melirik sekilas bagaimana pria dewasa berkemeja putih tersebut mengangguk berat. Seketika sebuah pertanyaan besar muncul dalam benaknya. Jika ini kompetisi yang seharusnya mengutamakan ketepatan komposisi baku dari sebuah lagu, mengapa dia bermain dengan begitu banyak aransemen? Apa dia sengaja? Namun tak dapat dipungkiri bahwa permainannya begitu memukau. Pemikiran gadis itu tampaknya dibenarkan oleh bagaimana ekspresi orang-orang di sekitarnya yang seolah menahan napas selama lagu berlangsung. Tarian jemari sang pianis menciptakan kepuasan tersendiri bagi pendengar. Bahkan walau sang gadis hanya mendapati separuh dari penampilannya, ia merasa tak ingin melihat apapun lagi begitu lagu itu selesai.

Akhirnya, pianis jangkung tersebut beranjak dari tempat duduk, berdiri tegak menghadap audience. Wajah itu masih tampak begitu tenang dengan tatapan tegas yang tetap meneduhkan. Ah mata itu. Kenapa begitu menarik? Fitur wajahnya juga mengingatkan Adity pada tokoh-tokoh dalam drama Asia yang sering ditontonnya semasa remaja dulu. Atau, bahkan lebih mirip dengan karakter dalam manga dan anime Jepang. Kulit cerah, rambut legam yang sedikit bergelombang, mata yang tak terlalu lebar namun terkesan tegas sekaligus hangat, hidung mancung, bibir tipis, dibingkai dengan garis rahang yang tegas. Dia pikir pria itu memang orang Asia Timur, atau setidaknya keturunan dari keluarga berdarah oriental.

Setelah beberapa detik suasana begitu hening, suara-suara tepuk tangan dan teriakan mulai menggema seiring dengan tersunggingnya senyuman khas di bibir sang pianis. Dari binar kagum dan antusiasme orang-orang di sekitarnya, Adity dapat memperkirakan bahwa yang baru saja tampil itu adalah mahasiswa dari departemen musik yang cukup populer. Pria muda tersebut membungkuk hampir 90 derajat sejenak, lalu kembali tegak dan melambaikan tangan seolah panggung itu adalah sasana konser tunggalnya, bukan panggung concours. Walau tak dapat dipungkiri bahwa dia memang sangat pantas memiliki panggungnya sendiri.

Riuh sorakan perlahan menghilang seiring lenyapnya tubuh jangkung itu di balik tirai hitam. Selang beberapa detik, peserta lain muncul dari arah yang sama. Seorang gadis anggun berambut pirang dengan midi dress lengan panjang berwarna ungu muda, mungkin dia gadis Eropa. Namun seolah perhatian Adity telah disita sepenuhnya oleh sang pianis berwajah oriental, ia tak lagi berselera mendengar alunan piano lain. Meski pendengarannya tak menampik bahwa permainan gadis itupun begitu indah, tapi hanya sampai setengah penampilan, Adity memilih menarik diri. Kembali keluar dari Show Hall dan mendapati hujan yang semakin menggila seolah sengaja menurunkan pagar tebal untuk membatasi pergerakan siapapun.

Sambil memainkan rambut ikalnya yang sebagian terjuntai di dada, ia mulai menerawang ke langit yang belum menunjukkan titik cerah. Kemudian menghitung jarak dari Show Hall menuju gerbang utama kampus ini yang cukup membuat kakinya lelah dalam perjalanan. Jika ditambah dengan letak apartemen yang sekitar 500 meter dari kampus, sudah tentu ia akan sampai dalam keadaan basah kuyup. Oh tidak. Adity tidak mau berakhir flu dan demam yang akan mengganggu ujian tengah semester pertamanya seminggu lagi. Diam-diam si gadis beriris madu menyesali sensitivitasnya pada hawa dingin dan keputusan sembrononya memilih departemen Vokal Klasik di kampus ini.

"Make a way! Please make a way! It's emergency!"

Pekikan beberapa pria seketika menyeret kesadaran gadis India itu ke permukaan. Tatapannya langsung tertuju pada gerombolan orang yang berjalan tergopoh-gopoh dari arah pintu alternatif Show Hall menyusuri teras dengan membawa tandu darurat berwarna biru. Di detik berikutnya, mata hooded itu membola sempurna kala tandu yang terangkat tepat berada di hadapannya dan ia menyadari siapa yang tengah berbaring di sana. Sang pianis berwajah oriental, masih lengkap dengan stelan jas dan celana bahan hitam dengan korsase bunga putih di dada. Bahkan hanya sekilas pun cukup terlihat bahwa kondisinya benar-benar berbeda dari saat ia tampil beberapa menit yang lalu. Matanya terpejam tenang, wajahnya pucat pasi, dan dia berkeringat sangat banyak dalam cuaca yang relatif dingin ini.

"Maaf. Apa yang terjadi padanya?" Diburu rasa penasaran, Adity memberanikan diri menahan langkah seorang staf yang hendak kembali ke ruang pertunjukan setelah mengantar yang lain keluar. Bertanya dalam Bahasa Inggris karena dirinyapun belum terlalu mahir menggunakan bahasa ibu di negara ini.

"Entah. Dia tiba-tiba pingsan begitu sampai di belakang panggung." Melihat staf pria yang tampak tergesa, Adity tak bertanya lagi.

Kemudian gadis itu kembali termenung di tempatnya, menyaksikan rombongan darurat menjauh. Ia lalu terpekur, mengingat beberapa saat lalu pria tersebut telah menyita perhatian banyak orang, termasuk dirinya dengan permainan piano yang terkesan ambisius namun begitu indah. Bahkan senyum dan tatapannyapun seolah menyihir siapa saja yang melihatnya -entah perasaan sang gadis yang melebih-lebihkan atau memang begitu adanya-. Maka walau sama sekali tak mengenal pria itu, melihatnya berbaring tak sadarkan diri membuat hati Adity didera gelisah.

.

.

.


Adity Chandra. Hujan musim gugur membawa gadis itu pada sebuah pertunjukan hebat yang berujung ironi.

Halo... Apa chapter 1nya nyaman dibaca?

17 Agustus 2021

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang