Yang di mulmed itu karya yang dibawakan Victory nanti. Dengerin dulu yuk. ^_^
.
.
.
Langkah demi langkah ia ayun dari ruang gelap menuju tempat yang dipenuhi cahaya di mana dia akan menjadi pemeran utama dalam beberapa saat ke depan.Pikirkan baik-baik kepada siapa kau ingin menyampaikan lagu itu.
Saat ini yang memenuhi benaknya adalah ucapan sang kakak beberapa menit lalu. Ia pun berhenti tepat di samping piano yang berada di tengah-tengah panggung, menyisir sejenak penjuru ruangan dengan iris peraknya. Hanya ada sedikit suara bisikan walau ruangan itu kini dipenuhi manusia, membuat suasana terasa begitu hening dan menegangkan seperti biasa.
Ada Aldric yang berjalan di sela-sela bangku penonton, menuju tempat duduk. Bellatrix juga di sana, di deretan bangku kedua dari depan seperti yang Aldric katakan. Lalu di sisi kanan dekat pintu masuk, ia dapat menemukan keberadaan Jimin, Adity, dan Luisa yang melambai-lambaikan tangan heboh diiringi senyum lebar padanya. Pun di deretan bangku terdepan, di antara petinggi kampus dan orang-orang penting lainnya, Profesor Ludwig menatapnya penuh rasa percaya seolah ingin mengatakan -Lakukan yang terbaik, Nak-.
Maka Victory menampilkan senyum termanisnya. Profesor bilang, senyum seorang performer dapat memberi nilai lebih bagi para penguji. Kemudian tubuh berbalut stelan tuxedo jaguar putih bersih itu ia tundukkan 90 derajat untuk memberi hormat pada semua orang, sekaligus meminta izin untuk memulai penampilan.
"Hai, tubuhku. Bekerja samalah denganku untuk tujuh menit ke depan. Jangan berulah macam-macam lagi, oke?" gumamnya dalam hati sebelum kembali menegakkan tubuh.
Ia membawa tapak kaki menuju kursi piano, mendudukkan diri serta melepas satu kancing terbawah jasnya. Dadanya naik turun, menghirup dan mengembuskan napas untuk menetralkan gejolak jantung. Jari di kedua tangannya ia buka dan ia tutup dengan cepat untuk melemaskannya, lalu ia mulai menyentuh deretan warna monokrom di hadapannya.
"Tuan Beethoven, izinkan aku membawakan karyamu untuk orang-orang yang kucintai."
Perpaduan nada bertempo cepat itu mulai dimainkan yang otomatis membuat semua orang terdiam memperhatikan.
"Beethoven's Sonata Number 17, Tempest, 3rd movement, in D minor. Good choice as always." Penguji ke-dua yang duduk di tengah-tengah ruangan manggut-manggut melihat daftar peserta di tangannya.
"Aku penasaran, apa yang akan dia lakukan dengan lagu ini." Pria yang sebagian rambutnya mulai memutih berucap datar, mengetuk-ngetukkan pulpen ke tumpukan kertas yang ia bawa. Dia pria yang berstatus sebagai penguji pertama.
"Kita lihat saja, apakah dia akan mengacaukan ini atau memperindahnya," sahut dosen senior wanita berambut sebahu dengan raut sinis. Victory memang disukai banyak orang. Namun tetap saja, beberapa orang merasa iri, dan beberapa yang lain pun tentu mempunyai kecenderungan untuk menyukai pianis lain.
Sementara sosok yang kini tengah menjadi sorotan utama, tampak begitu tenang menatap tuts-tuts yang bergerak sesuai gerakan tangannya. Di antara tempo dramatis itu, pikirannya masih dapat mengabsen satu persatu nama yang begitu lekat dalam hidupnya.
Untuk Mama.
Meski jutaan terima kasihku tak dapat menggantikan pertaruhan nyawamu demi mengizinkanku melihat dunia, setidaknya aku ingin menciptakan senyum di bibir Mama.Aku sangat bahagia setiap kali Mama datang tengah malam, mengusap kepalaku saat aku tidur.
Walau setelah aku bangun Mama masih enggan menatapku.., ternyata Papa benar. Mama tetap menyayangiku. Iya kan?
Terima kasih telah merelakan begitu banyak waktu berhargamu untuk membantuku meraih mimpi, Ma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...