Pria muda tersebut tidak sempat memikirkan apapun ketika bangun dan melihat sosok yang paling ia nantikan tengah duduk di sisinya, menatap dengan sepasang iris hazel sehangat mentari di tengah musim dingin. Yang ia rasakan saat itu hanya kelegaan sekaligus debaran luar biasa bagai sungai yang terbebas dari sumbatan, sehingga aliran derasnya berlomba-lomba menuju muara. Dan Aditylah muara segala rindu dendam yang telah membelenggu hatinya selama ini. Tidak ada keinginan yang lebih besar daripada sesegera mungkin menunjukkan rasa yang telah ia sembunyikan, entah sejak kapan.
Kali ini tangan si gadis bergerak lembut mengusap jejak air mata pria muda itu. "Senior... Karena kau sudah mengatakannya.., apakah sekarang kita.. Sepasang... Kekasih?"
"Ya ampun, pertanyaan macam apa itu?"
"Kau... Sedang menertawakanku ya?"
Victory benar-benar tidak sadar bahwa satu sudut bibirnya telah terangkat di bawah penyangga selang intubasi. Bahkan matanya kini menyipit meski wajahnya masih terasa sangat kaku. Melihat wajah marmut gendut kesayangannya tengah menatap skeptis, sembab, dan merona merah di sekitar mata, kening, cuping hidung serta pipi membuatnya ingin segera bergerak untuk mencubit. Sumpah, itu sangat menggemaskan. Sayang sekali, memalingkan kepalapun tak mungkin baginya saat ini.
"Jangan menatapku seperti itu! Coba tekan tanganku. Sekali kalau iya, dua kali kalau tidak." Adity semakin merengut mendapati sorot aneh Victory.
Dan bila saja organ pemacu hidupnya bukan ciptaan Tuhan, mungkin jantung itu telah merosot ke dasar perut kala dirasanya genggaman Victory semakin mengerat. Tidak ada dua kali. Hanya satu tekanan jemari tangan yang menandakan afirmasi.
Saking malunya, Adity bahkan tak mampu tersenyum. Ia menatap intens wajah pucat itu. Lebih tepatnya, ia hanya terbengong-bengong. Hingga sebuah pemikiran memaksanya berceletuk, "Bukankah.. sepasang kekasih harusnya melakukan sesuatu yang romantis di hari jadiannya?"
Kali ini Victory yang dibuat bertanya-tanya. Keningnya mengernyit seolah mengutarakan, apa yang bisa kulakukan dengan keadaan seperti ini?
"Ha-haruskah kita.. berpelukan..?"
Seketika kelopak mata yang hanya memiliki satu lipatan di sebelah kiri itu melebar seiring sentakan hebat jantungnya. Wah... Victory benar-benar bingung memahami Adity sekarang. Apa benar kata orang bahwa makhluk-makhluk introvert yang selalu terlihat pendiam dan apatis bisa menjadi agresif di saat yang menurutnya tepat?
"Oke!" Adity bertepuk tangan sekali, seakan tengah menghempaskan segala keraguannya. "Aku akan membantumu, Senior."
"Apa yang akan kau lakukan?!
Di detik berikutnya Adity berjalan mengitari ranjang pasien dan berhenti di sisi kiri. Ia ingat betul ucapan Bellatrix sehari yang lalu bahwa prosedur operasi yang dilewati Victory akan merobek bagian tepi kanan dadanya. Menyentuh bagian itu pasti akan menyakiti Victory, pikirnya.
Pria muda itu hanya pasrah dengan berbagai pertanyaan di kepala ketika pemilik surai ikal tersebut perlahan meraih tangan berinfusnya hingga terangkat sebatas perpotongan siku. Hati-hati sekali Adity memasrahkan kepalanya di tengah dada Victory meski tak sepenuhnya menopangkan berat tubuh. Ia lalu membimbing tangan lemah itu ke belakang tengkuknya, berlanjut dengan tangan kanan Victory yang bersinergi merengkuh punggung gadis itu pelan. Sementara Adity mendaratkan kedua tangannya pada pundak pria itu.
Mereka berpelukan, dengan caranya.
Pada akhirnya, dua insan tersebut jujur atas perasaan mereka. Dalam sunyi keduanya saling merasakan debaran masing-masing yang meledak-ledak tak terkendali. Mereka memejam, tenggelam dalam luapan rindu, syukur, serta haru yang tergambar lewat linangan air mata. Jemari Victory dengan lembut bergerak menelusup helaian rambut ikal sang puan, menimbulkan kehangatan pun ketenangan di saat bersamaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...