26. Rindu

704 78 25
                                    

Atmosfer dalam rumah pejabat tinggi negara itu semakin terasa menyesakkan setelah insiden beberapa hari lalu, tepatnya dua minggu setelah kepulangan si putri sulung. Pandu datang bersama orangtuanya, mencecar Adity atas apa yang terjadi di Republik Ceko.

Ini sungguh memuakkan bagi si gadis. Bagaimana selama ini Pandu menunjukkan keburukan, lalu bersikap seolah dialah yang menjadi korban. Tentu Adity mengutarakan pembelaan dibantu sang ayah. Namun hal itu menjadi persoalan yang semakin pelik antara Adity yang tak lagi mau melanjutkan hubungannya dengan Pandu, dan pihak keluarga pria yang bersikeras mengadakan pertunangan. Belum ada ujung yang pasti hingga Pandu sekeluarga undur diri. Dan itu memancing kemurkaan sang ibu hingga mendiamkan Adity berhari-hari.

"Sebenarnya apa maumu, Adity? Kenapa kau menuduhkan hal-hal yang belum terbukti pada Pandu?" Untuk pertama kalinya Shruti kembali berbicara pada si sulung, memecah keheningan di meja makan.

Adity justru membatu oleh pertanyaan yang acap kali ia dengar sejak dulu. Kalau begini rasanya justru seperti ia adalah seorang pesakitan yang harus dicecar dengan berbagai pertanyaan jebakan berkali-kali untuk mendapatkan kejujuran.

"Bu... Sungguh, Pandu tidak sebaik yang Ibu lihat--"

"Itu hanya perasaanmu saja. Kau memang selalu menganggap semua orang negatif karena pergaulanmu yang terbatas!" Nada bicara Shruti meninggi, seolah tak mau mendengar bualan dari putrinya.

Suasana makan malampun terasa semakin mencekam. Dua pribadi yang juga berada di sana sontak mengunci mulut. Namun, mendadak sederet kalimat yang pernah Adity dengar kembali berarak di kepala.

Seorang pengkhianat akan terus berkhianat. Jika bukan padamu, dia akan melakukannya pada orang lain. Kau yang harus memutuskan, mau diperlakukan seperti itu atau tidak.

Pribadi itupun melayangkan tatapan intens pada wanita yang lebih tua. Tak ada kesan menghakimi atau memaksa, melainkan pandangan yang mengisyaratkan permohonan. "Bu.., bisakah Ibu mempercayaiku sekali saja? Jika ibu mau bukti, aku bisa mendapatkannya."

"Dengan cara apa? Mau mempermalukanku dan ayahmu lagi seperti tempo hari? Sudah cukup, Adity. Buka pikiranmu. Kau tidak bisa selamanya bersikap begitu, atau kau akan termakan waktu!"

"Shruti, tenanglah. Setidaknya habiskan dulu makan malamnya." Suara rendah sang kepala keluarga menginterupsi.

"Jangan ikut campur dulu, suamiku. Aku belum selesai." Tatapan tajam terarah pada Ashmit, kemudian kembali berpusat pada putrinya. "Berhentilah bertindak bodoh, Adity. Kau pikir belajar di luar negeri akan menjamin kebahagiaanmu? Aku sudah hidup lebih lama darimu. Kau yang seharusnya percaya, bukan malah bertindak semaumu sendiri. Memangnya apa yang kau kejar di sana? Kebebasan? Sebebas apa?"

"Ibu, tidak begitu.." perlahan kilatan air asin mulai menggenangi pelupuk mata Adity. Sungguh sulit menghadapi ibunya kalau sudah seperti ini. Orang bilang, seorang anak tidak selayaknya mendebat ibu yang telah mengajarinya bicara. Tapi bukankah ibu juga manusia yang mungkin saja melakukan kesalahan?

"Oh... Apakah di sana kau menemukan orang yang lebih baik dari Pandu? Kau punya kekasih baru?" sinis Shruti, membuat Adity semakin gelagapan. "Benar, kan? Dan kau melepas Pandu demi pria itu."

Pribadi berbalut salwar dan kameez rumahan berwarna merah muda pucat itu memejam, menarik nafas susah payah. Air matanya jatuh. Dadanya sakit mendengar ucapan tajam Ibu yang datang bertubi-tubi. Tapi sialnya, di saat sulit seperti ini yang selalu datang dalam ingatannya justru kalimat-kalimat dari orang yang sangat ingin ia lupakan.

Mulai sekarang kau punya mimpi.

"Ibu.. Dengarkan aku. Awalnya aku memang hanya berniat menjauh dari kalian. Tapi di sana aku menemukan mimpiku, dan aku menemukan jalan untuk mengusahakannya." Adity sedikit mempercepat bicaranya, tak ingin kalimatnya dipotong lagi. "Lagipula usiaku baru 20 tahun, Bu. Di zaman sekarang, bukan hal tabu lagi bagi seorang gadis untuk menikah di usia 25 ke atas. Jadi tolong, percayalah padaku sekali saja. Kalau Ibu masih tetap menyukai Pandu, tidak masalah bagiku. Tapi tolong beri aku waktu. Izinkan aku meneruskan pendidikanku." Ia menjeda.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang