.
.
.
Selain berlatih di dalam studio dengan iringan musik, menjelang hari ujian Adity, Victory beberapa kali membawa gadis itu berlatih menyanyi acapella ke berbagai tempat outdoor di Praha. Hal itu dia lakukan untuk melatih kekuatan dan kenyaringan vokal Adity, juga kesiapan mentalnya untuk menghadapi dosen penguji dan audience. Cukup memakan waktu, tapi naluri pria itu menginginkan penampilan terbaik dari orang pertama yang ia sanggupi permintaan bantuannya.Seperti hari ini saat mereka kembali membuat janji untuk bertemu di tengah Jembatan Charles. Victory telah siap dengan baju musim dingin serta tas kulit hitamnya, berjalan santai dari kampusnya di wilayah Lesser Town yang hanya butuh waktu kurang dari 10 menit menuju jembatan berumur 8 abad yang melintang di atas Sungai Vltava itu. Kakinya meniti langkah pada setiap petak jalan yang terkesan gotic namun tetap menawan, hasil perpaduan antara batu-batu hitam yang tersusun rapi, patung-patung bergaya Eropa, dan lampu jalan antik berjajar di sepanjang pagar pembatas.
Matanya terus mencari presensi yang baru menghubunginya satu jam lalu. Dan Victory bersyukur bahwa setelah perayaan Halloween, jembatan ini belum terlalu ramai dikunjungi para wisatawan hingga mencari seseorang tak terlalu sulit.
Awalnya, pria muda itu tersenyum lucu kala matanya menangkap sosok gadis dengan surai legam panjang bergelombang yang sangat ia kenal tengah duduk bersila dengan santainya di atas jalan berbatu, bersandar pada dinding pagar. Itu cukup membuat Victory geleng-geleng kepala, berpikir gadis ini terlalu santai atau memang tidak tahu malu. Langkahnya makin dipercepat untuk mengikis jarak, namun pergerakannya terhenti kala berangsur-angsur ia mendapati ekspresi tak menyenangkan dari si gadis. Berbicara lewat telepon dengan bahasa negerinya, suara Adity terdengar bergetar, sarat nelangsa dan amarah. Sesekali ia tampak menghapus air mata yang berjatuhan. Namun jelas gadis India tersebut berusaha terdengar kuat untuk seseorang di ujung sana. Terakhir, intonasinya meninggi dan sedikit mengeras, kemudian telepon itu ia matikan begitu saja.
Gadis itu kini menunduk dalam, menyembunyikan wajah di balik kedua tangan yang sikunya bertumpu pada kaki-kakinya. Tubuhnya bergetar seiring isakan yang tertahan. Ini adalah pemandangan yang cukup mencubit batin Victory, sebab yang ia tahu selama ini, Adity hanya gadis berantakan yang ceria dan sedikit sembrono. Dalam hati, pemilik iris perak itu yakin bahwa gadis seperti Adity akan sangat malu menangis di depan orang lain. Maka Victory memilih tetap diam di tempat, menunggu hingga tangisan juniornya mereda.
"Halo, penyanyi klasik. Lama menunggu?" Akhirnya Victory menyapa kala si gadis terlihat lebih baik dan hampir mengutak atik ponselnya lagi.
Adity mendongak, tampak sedikit terkejut. Ia sampai menyentuh pipinya lagi, seolah memastikan tidak ada jejak kesedihan yang tertinggal di sana.
"Oh... Senior. Aku baru saja akan menghubungimu," tuturnya sembari menunjukkan ponsel dan mengumbar senyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...