(Revisi)
Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi.
Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
.
"Adity!" Pekikan Jimin nyatanya tak menghentikan langkah gadis itu.
"Jimin, biar aku saja." Luisa mengangkat tangan ke depan tubuh Jimin, menghalangi agar pemuda itu tak mengejar pribadi yang baru saja pergi. Jiminpun mengangguk pasrah.
Ia memilih kembali ke ruang rawat, tetapi ketika membalikkan tubuh, pemandangan Bellatrix yang menangis keras dalam pelukan ibunya membuatnya tertegun.
"Permisi, Nyonya.." Seorang perawat datang membawa papan dada dengan kertas dan pena di atasnya, menyapa sopan serta sedikit sungkan.
"Administrasi?" Sosok pria jangkung yang duduk di sebelah dua wanita itu menebak cepat.
Menyadari hal itu, Bellatrixpun mengusap air matanya dan beranjak. Tapi tubuhnya ditahan oleh Ara.
"Ayo, Suster."
"Hyungsik-ah, hajima."
Park Hyungsik yang hampir pergi bersama perawat itupun berhenti, menatap penuh pinta pada Bellatrix. "Nuna, izinkan aku.."
"Tidak.. Aku tidak bisa merepotkanmu seperti ini," tolak Bellatrix.
"Eonni..." Wanita yang lebih muda menggenggam kedua bahu Bellatrix, menyorotnya lekat. "Roti dan susu yang kau berikan dulu telah menyelamatkan hidup kami. Sekarang.. Izinkan aku melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Tory."
"Ku mohon, Nuna. Kita masih saudara, kan?" timpal Hyungsik sungguh-sungguh.
Sedikit banyak, Jimin bersyukur melihat kedekatan orang tuanya dan keluarga Couval yang tak pernah berubah. Tentu ia ingat betul bagaimana dulu Bellatrix tak ragu menolong keluarga kecilnya yang belum lama berpindah dari Korea dengan alasan solidaritas. Bellatrix dan Hubert bahkan membantu Ara dan Hyungsik menemukan pekerjaan serta relasi. Lantas ketika Jimin membawa pandangan ke dalam kamar rawat yang pintunya sedikit terbuka, tampak Aldric dengan telaten menyeka keringat di kening dan leher Victory yang telah terlelap. Kembali Jimin teringat bahwa kakak beradik itu juga banyak membantunya menyesuaikan diri dengan lingkungan serba baru.
Dalam tegunnya, Jimin merutuki diri sendiri. Merasa menjadi manusia paling jahat atas kelancangannya mencintai orang yang begitu berpengaruh dalam hidup penolongnya, Victory.
Seperti yang pernah dikatakan oleh sahabatnya, Jimin benar-benar termakan oleh ucapannya sendiri. Tapi sekarang tidak akan lagi. Sekarang saatnya untuk membalas budi.
*
"Beb, You OK?" Setelah celingukan ke sana kemari, akhirnya Luisa berhasil menemukan sosok Adity duduk termangu di bantaran sungai Vltava, tepat di depan lobby rumah sakit.