"Tenang. Biar Kakak yang mengajarimu. Tapi jangan bilang Mama, ya."
"Victory? Nama yang bagus. Terimakasih sudah mau berteman dengan Jimin ya, Nak."
"Tory anak pintar. Mama dan Papa sayang Tory. Sabar ya... Nanti kalau Tory sudah sebesar Kakak, pasti Mama mau mengajarkan cara main piano."
"KALAU BUKAN KARENAMU, AKU PASTI SUDAH MEMBUNUH PEMBAWA SIAL INI, HUBERT!"
"Juara satunya adalah, peserta nomor 27, Victory Couval dari Praha!"
"Victory, neuroblastoma bukan hal sepele. Kau harus segera mendapat penanganan."
"Merak itu burung dari nirwana. Tapi yang membuatnya lebih istimewa, ketika turun hujan, unggas lain segera bersembunyi. Sedangkan merak, dia justru menari di tengah hujan. Seperti kau. Saat kebanyakan orang benci dengan cuaca ini, kau malah senang sekali."
"Mama menyayangimu, Nak.."
Dalam sekejap, dia melayang melintasi bayangan-bayangan peristiwa yang terjadi selama hidupnya hingga jiwanya terasa ditarik paksa menuju kesadaran. Ia kembali dapat mendengar suara-suara orang berbicara, tapi sama sekali tak dapat bergerak meski sekadar membuka mata. Seluruh tenaganya seolah sirna bersama perginya rasa sakit yang menyerang beberapa waktu lalu.
*
Hal terakhir yang mereka lihat dari kaca lebar ruang perawatan intensif adalah tubuh Victory yang tersentak-sentak hebat oleh defibrilator. Setelah itu tirai ditutup, dan waktu serasa terhenti. Sampai akhirnya pintu putih itu terbuka. Hubert, Bellatrix, Aldric, Jimin, Adity, Luisa, bahkan Ara dan Hyung Sik ada di sana, segera mengerubungi pria berpakaian steril itu.
"Dokter, bagaimana Victory?"
Martin membuka maskernya dan menatap orang-orang itu bergantian dengan pandangan yang dilapisi berbagai ekspresi. "Kesadarannya kembali."
Semua mendesah lega mendengarnya sebelum dokter itu melanjutkan dengan raut sendu.
"Tapi jika kalian ingin menemuinya, saya hanya bisa memberi kesempatan pada dua orang. Masing-masing lima menit," rendahnya. "Dan.. Saya harap anda semua mengikhlaskannya mulai sekarang."
"A-apa? Apa maksud anda dengan mengikhlaskan, Dokter?" Aldric tahu-tahu mencicit tajam.
"Tuan, ingatlah bahwa pasien Victory telah berjuang sampai sejauh ini melawat penyakit langka. Adik anda adalah orang yang sangat kuat."
Aldric hampir saja menonjok wajah Martin yang seolah mengatakan bahwa adiknya tak memiliki harapan lagi. Tapi Hubert dengan penuh kesadaran segera mencegahnya. Pada akhirnya, setelah melalui pertimbangan singkat, Hubert dan Bellatrixlah yang diberi kesempatan untuk menemui Victory bergantian, sementara sisanya hanya melihat dari luar ruangan.
Pribadi berstatus ayah angkat itu mendapat kesempatan pertama. Lengkap dengan baju steril, ia berdiri di samping tubuh Victory yang layu dililit berbagai alat penopang kehidupan. Wajah itu terpejam damai dengan selang intubasi yang lagi-lagi disarangkan di mulut.
Batinnya menolak mentah-mentah fakta bahwa itu adalah putra bungsu yang meminta pelukan darinya beberapa jam lalu. Tapi kenyataan memaksanya untuk menguatkan hati dan mengikhlaskan.
"Hei, jagoan." Ia mengeraskan suara, berusaha keras menghalau sesak di dada. "Ini Papa. Kau dengar kan? Kau tidak ingin melihat Papa, hum? Apa kau mengantuk?"
Suara rendah yang lembut itu menyapa rungu Victory di antara desing mesin-mesin medis. Hal itu justru membuatnya tercabik oleh perasaan bersalah dan kecewa lantaran tak dapat menggerakkan satupun bagian tubuh meski hanya membuka mata. Rasa sakitnya memang telah hilang, tapi seluruh tubuhnya pun kembali mati rasa. Maka dengan segenap kesungguhan Victory membenak, "Tuhan, aku tahu inilah batasanku. Tapi Papa pasti sedih melihatku seperti ini. Kumohon, izinkan aku menyapanya sekali ini saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...