18. Jagoan

753 92 13
                                    

Mau berapa kalipun ia berusaha memberanikan diri, rasanya Victory tak pernah siap menghadapi hari ini. Ingin sekali ia berlari keluar dari ruang aneh ini, tapi terlambat. Semua telah siap di depan mata dan harus tetap dijalankan sebagaimana mestinya.

"Sudah siap, Tuan Pianis?" Dokter Martin menyungging senyum hangat padanya yang tengah bersandar di brankar rawat. Sedangkan seorang perawat wanita di belakang pria tersebut tengah membantu menyiapkan berbagai perlengkapan.

Victory menghela nafas gugup. Tatapannya terarah pada pintu keluar. Mama dan Kak Aldric di luar sana menunggunya. Tapi Victory hanya meminta Hubert saja untuk menemaninya di dalam ruangan itu. Bahkan sejak semalam dia telah meminta mereka berdua untuk tetap bekerja walau akhirnya tak satupun orang mendengar permintaannya, sebab sampai saat ini pun ia belum terbiasa menerima perhatian dari sang ibu. Ia terlalu malu bila nanti harus menunjukkan sesuatu yang dianggapnya tak perlu di depan Bellatrix dan Aldric, ketakutan melihat jarum suntik dan infus misalnya.

Pria muda itu juga teringat Jimin dan kedua orang tuanya yang berkunjung ke rumah sebelum berangkat untuk memberinya dukungan pagi tadi. Mereka bahkan bergantian memeluknya. Maka Victory kembali menguatkan hati. Ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk semua orang yang mengharapkan kesembuhannya. Walau sebenarnya, dirinya sendiripun tak ingin terlalu banyak berharap, apalagi memberi harapan.

"Ya, Dokter.." lirihnya.

Pria berjubah putih itu mengangguk mantap, lalu segera mengusapkan alkohol pada punggung tangan kanan pasiennya. Victory segera berpaling dan memejamkan mata sembari mengeratkan genggaman pada tangan sang ayah kala jarum infus mulai menembus kulit.

"Prosesnya akan butuh waktu kira-kira enam jam. Sampai lewat tengah hari. Jadi santai saja, makan, main ponsel atau game juga bisa, asal tidak terlalu banyak bergerak," intsruksi sang dokter begitu selesai memasang infus berisi obat kemoterapi.

"Ya, Dokter," jawab Victory, copy paste.

Keadaan ruangan itu kembali hening ketika Dokter Martin duduk di belakang meja kecil di sudut ruangan, tampak mencatat entah apa. Orang yang tengah berbaring masih diam, merasakan sensasi hangat dan sedikit ngilu mengaliri vena, kemudian perlahan merambat ke seluruh tubuhnya.

"Kau baik-baik saja, Nak?"

Victory menoleh, lalu mengangguk sekali dengan senyum kaku. "Aman, Pa," katanya yang langsung mendapat sambutan hangat berupa usapan di kepala.

Butuh beberapa menit hingga zat-zat kimia bereaksi dalam tubuhnya. Perlahan rasa panas merambat pada beberapa bagian. Tubuh Victory mulai bergerak gelisah ketika obat-obatan bekerja melawan sel abnormal di dalam sana, seolah ribuan jarum tengah menusuk dan menggores setiap inci dalam dirinya. Ia memejamkan mata, masih mencoba mengatur nafas untuk menetralkan rasa tak nyaman itu.

Hubert yang masih duduk di sebelah brankar dapat melihat titik-titik keringat yang mulai muncul di kening putranya. Kendati wajah anak itu masih datar-datar saja, ronanya yang memudar cukup menjelaskan segalanya.

"Ssshh..." Desis lirih muncul di bibir Victory seiring dengan kernyitan yang tampak di kening.

Maka dengan lembut pria yang lebih tua kembali menggenggam tangan putranya, berusaha memberi kekuatan. Hubert dapat merasakan tangan anaknya yang berubah dingin, gemetar, lalu mencengkeram telapak tangan besarnya.

"Apa sakit?" Hanya suara getar nafas yang terdengar sebagai jawaban. Victory menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan rintihan yang ingin pecah.

Sang ayahpun bergerak menangkup pipi si bungsu dengan tangan bebasnya. "Jangan gigit bibirnya, Nak.. Nanti luka. Teriak saja. Menangis juga tidak apa-apa."

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang