"Nona, bukankah tujuanmu datang kemari untuk mengejar mimpi? Cobalah. Siapa tahu kau menemukan jalan yang lebih mudah."
Setelah melalui tawar menawar yang sedikit pelik, sampailah Aldric pada penegasan itu. Dia yakin, meski terlihat tak peduli, Adity cukup cakap menyikapi kesempatan yang datang. Ditambah dengan kepahamannya sendiri atas kemampuannya, -jika dilihat dari pencapaiannya dalam kompetisi terakhir-.
"Senior yakin hanya ingin mengatakan itu?"
"Aku janji tidak akan ada siapapun di lokasi itu kecuali aku, kau, orang-orang Philharmonic, dan penonton. Oh... Dan Jimin. Karena dia akan membantuku."
Tidak dapat dipungkiri, kecurigaan masih menyelimuti benaknya. Apalagi dengan ajakan mendadak yang terlalu kebetulan seperti ini. Namun betapapun apatisnya Adity, dia sadar sepenuhnya bahwa yang mengetuk pintunya untuk membawa penawaran adalah seorang pianis kelas nasional yang bahkan namanya dapat dengan mudah ditemukan pada mesin pencari meski hanya dengan mengetik 'Pemenang Kompetisi Piano Tchaikovsky 2014'.
"Baiklah. Tapi lagu apa?"
"Serenade milik Schubert. Yang kau bawakan bersamaku di ujian Conducting."
Maka pada Sabtu sore itu Adity tak melayangkan protes sedikitpun ketika Jimin dan Aldric kembali untuk menjemputnya.
"Apa ini tidak masalah, Kak?" tanya Jimin ketika ia dan Aldric berjalan di selasar menuju aula umum gedung berarsitektur Victorian, basecamp dari para musisi tersohor tanah air itu di mana pertunjukan bulanan akan dihelat.
"Hm." Aldric mengangguk yakin. "Aku sudah mengatakan semuanya pada pimpinanku. Lagipula hanya satu lagu. Tidak akan mengganggu acara lainnya."
"Syukurlah," desah Jimin yang merasa lega, sebab setahunya acara semacam ini hanya menampilkan pertunjukan musik tanpa vokal.
*
"Sudah baikan?"
Pemuda itu menggeleng cepat, kemudian tubuhnya kembali tertunduk. Pot kecil di depan tubuhnya hampir penuh oleh muntahan hingga akhirnya nafasnya mulai teratur. Hubert lantas menyandarkan kembali tubuh Victory pada brankar dan membantunya meminum air putih. Bellatrix dengan cekatan membersihkan pot biru itu lalu segera mendekati si bungsu, membalurkan minyak hangat aroma terapi pada perut, dada, serta tengkuknya, kemudian menyelimutinya kembali.
Semakin hari ia tampak semakin layu seolah waktu telah menelan sebagian besar daging dan darah dalam tubuhnya. Memaksa kedua orang tuanya untuk terbiasa dengan keadaannya yang semakin melemah, dan memundurkan jadwal penanganan tanpa kepastian.
"Hari ini giliran Kakak tampil di acara basecamp-nya. Mau Papa teleponkan tidak?"
"Tidak."
Hubert dan Bellatrixpun saling menatap prihatin. Biasanya Victory akan sangat bersemangat datang ke acara yang hanya berlangsung dua jam itu meski bukan kakaknya yang tampil. Ia sangat tertarik dengan sajian ansembel, berbagai formasi mini dari orkestra kenamaan tersebut. Tapi setelah sadar dari koma, ia seakan sengaja memisahkan diri dari dunia yang begitu dicintai. Victory lebih banyak berteman sunyi.
"Oh... Jimin menelpon!" Bellatrix berucap semangat, lalu menggeser tombol hijau di plasma canggihnya.
"Bibi, apa Vi di sana?" Wajah lucu pemuda itu tampak di layar ponsel.
"Ya. Mau bicara dengannya?"
Mendengar pertanyaan sang ibu, Victory sontak mengeryit tak setuju. Dan seolah telah hafal respon sahabatnya, Jimin justru menolak. Tanpa sepengetahuan Victory, ia menunjukkan di mana dirinya sekarang, membuat Bellatrix dan Hubert mengangguk paham.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...