14. Pijakan

803 91 18
                                    

He's imperfect but he tries
He is good but he lies
He is hard on himself
He is broken but won't ask for help

.

.

.

Begitu gadis bergaun kuning usai membungkukkan tubuh sebagai salam penutup, Aldric bangkit dari kursi piano. Sekuat hati ia menahan langkahnya agar tetap tenang ketika meninggalkan panggung aula. Namun ketika tubuhnya telah tersembunyi di balik tirai, langkahnya menjadi semakin cepat meninggalkan Adity.

"Jimin, ayo kita pergi sekarang."

Yang dipanggil segera bangkit dan mengangguk gugup.

"Kalian sudah mau pergi? Lalu bagaimana aku harus membalas bantuanmu, Senior Aldric?"

"Lupakan. Tidak ada waktu untuk itu," datar si pria pucat.

Mendengar jawaban Aldric bukannya membuat Adity lega, justru semakin bingung. Ekspresi kedua pria di hadapannya bahkan tampak tidak baik-baik saja.

"Maaf. Kami harus pergi sekarang, Adity," sahut Jimin serius.

"Sebenarnya ada apa, sih?" Gadis itu berusaha mengejar dua pria yang beranjak pergi hingga satu di antara mereka berhenti dan berbalik.

"Ck. Aku sudah membantumu. Bisakah kau berhenti mengganggu?" Nada bicara pianis senior itu bahkan meninggi.

Jimin yang melihatnya sontak menggenggam lengan Aldric, bermaksud meredam amarahnya. "Maafkan kami, Adity. Victory sakit dan kami masih belum tahu keadaannya."

Mata hooded si gadis melebar mendengar penjelasan singkat tersebut.

"Kami harus menemuinya sekarang," lanjut Jimin.

"T-Tunggu. Sakit apa dia? Aku ikut!"

Mereka kembali melangkah hingga melewati ambang pintu samping gedung.

"Nona Adity!" Dua orang pria mencegat gadis itu dengan senyum lebar.

Jimin yang tadinya berniat mengiyakan permintaan Adity untuk ikutpun menghentikan langkah.

"Ya, Tuan? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Adity sedikit terbata.

"Jim, cepatlah! Aku harus melihat adikku!" Aldric sudah tampak sangat marah. Rasa panik mengingat keadaan Victory pagi tadi membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.

Maka setelah menatap Aldric sekilas, Jimin mendekati Adity yang juga tampak kebingungan menghadapi dua pria di hadapannya.

"Maaf mengganggu sebentar," sela Jimin menghentikan pembicaraan ketiga orang itu. "Adity, selesaikan urusanmu dulu. Jika kau ingin bertemu Victory, dia ada di rumah sakit Frantisku. Atau hubungi aku. Nanti aku akan menjemputmu."

*

Kelihangan pijakan. Itulah yang tengah dirasakan Bellatrix saat ini. Ibu dari dua orang putra tersebut bahkan tak dapat mengkalimatkan denyut dalam dadanya. Sedih, sesal, malu, marah, bingung. Jika bisa, dia berharap tubuhnya ditelan bumi sekarang juga daripada harus menghadapi takdir yang baru saja tersingkap kebenarannya. Oh, apakah ini takdir? Atau justru inilah konsekuensi atas perbuatannya sendiri?

"Bella, kau tidak ingin melihatnya?"

Walau pria yang paling dia cintai masih setia menemaninya, nyatanya kehangatan Hubert tak mampu mencairkan kebekuan yang memenuhi rongga dada. Dia menekuk wajah, menunduk dalam-dalam sembari memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan untuk mengusir dingin.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang