12. Passacaglia

619 82 31
                                    

Bagi Aldric yang sudah lebih lama malang melintang di dunia musik, menghadapi situasi seperti ini adalah hal biasa. Tapi tidak bagi Victory. Bahkan Jimin yang hanya menontonpun ikut dibuat gugup.

Melihat Victory yang terus mengaitkan jemari di kedua tangan dan menempelkannya di kening seperti sedang berdo'a dengan mata terpejam dan bibir pucat membuat Jimin cukup cemas. Apa lagi butir-butir keringat sampai membasahi kerah putih tinggi di balik jas hitamnya.

"Jangan khawatir. Dia memang begitu. Nanti juga dia lupa rasa gugupnya kalau sudah di panggung." Bukannya menghibur si bungsu, Aldric justru menenangkan Jimin.

Yang diajak bicara hanya menghela nafas sambil menatap Aldric tanpa arti. Batinnya berucap nyaring. Seandainya Aldric tahu keadaan adiknya, dia tidak akan sesantai ini, kan? Bahkan Aldric sama sekali tidak tahu bahwa kemarin malam Victory meminta Jimin mengantarkannya ke Gereja dan berdo'a cukup lama di sana. Jimin terlalu hafal sikap sahabatnya. Anak itu tak ragu untuk mendatangi rumah Tuhan kapanpun ketika ia merasa tidak baik-baik saja, atau saat ia sedang bahagia. Bisa saja Victory sedang bergulat dengan sakit di punggung atau tangan dan kakinya yang kaku saat ini. Tapi Jimin hanya dapat menelan bulat-bulat suara hatinya. Terlebih, suara seorang staf gedung mengalihkan perhatian mereka.

"Tuan Victory, bersiaplah di panggung. Aku akan memberi kode sebelum tirainya terbuka, dan kau bisa mulai memainkan piano saat itu."

"Baik, Pak," balas Victory, tak lupa mengumbar senyum ramahnya.

"Kak, Jim, aku pergi dulu."

"Break a leg, boy!" Aldric menepuk dua kali pundak adiknya, memberi semangat. (Semangat, boy!)

Setelah itu mereka berdua keluar dari ruang tunggu, lalu masuk ke dalam gedung melalui pintu crew. Aldric bersiap mengeluarkan ponselnya untuk merekam penampilan Victory, permintaan ibu dan ayah. Bersama dengan itu, satu persatu lampu utama ruangan dimatikan hingga hanya tersisa remang lampu kecil di sudut-sudut atap.

"Sudah mau mulai," bisik Jimin, diangguki oleh Aldric.

Pria yang hari ini sengaja mengambil libur dari studio tempatnya bekerja itu mulai menyalakan aplikasi kamera. Dan benar saja, tak lama kemudian denting-denting lembut terdengar dari back sound kecil di beberapa bagian aula gedung opera nasional itu.

Ah... Lagu ini. Aldric sangat mengenalnya. Passacaglia ciptaan Handel dan Halvorsen, G minor. Nada demi nada terlantun seiring dengan celah tirai merah yang terbuka semakin lebar, menyiratkan sinar kuning terang. Presiden dan Perdana Menteri Republik Ceko, para staf kenegaraan, Presiden Finlandia juga beberapa menterinya berangsur memasuki tempat itu. Semua matapun mulai mengamati, dan semua telinga mendengarkan dengan seksama alunan musik dari pianis muda di hadapan mereka.

Sedikit rasa penasaran menggelitik dada Aldric ketika mengingat bahwa adiknya ini jarang sekali memainkan lagu romantis. Victory memang sempat mengatakan bahwa pihak gedung memintanya memainkan karya yang lebih simpel dari yang biasa ia bawakan dalam kompetisi. Tapi Aldric tak mengira si bungsu akan membawakan lagu pernikahan.

Di tengah tengah musik, si sulung dibuat kaget oleh tempo yang sempat sedikit tersendat. Itu memang sangat manusiawi. Tapi jauh berbeda keadaannya, sebab dua bersaudara ini sudah mendapat julukan sebagai metronom hidup. Meski begitu, Victory menutup penampilannya dengan sangat mulus. Acarapun dimulai. Dan dirinya harus menunggu sekitar satu jam untuk penampilan kedua.

*

Pemuda berperawakan jangkung itu terdiam di depan wastafel, menatap nanar air keruh yang perlahan surut dari cekungannya. Segera ia menyalakan kran air lagi kala bercak merah kembali berjatuhan dari hidungnya. Kepalanya sakit sehingga ia berpegang penuh pada bibir wastafel untuk menjaga keseimbangan. Rupanya gugup berlebihan memberi efek buruk untuk tubuhnya.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang