32. Lagu Pilihan

672 70 15
                                    

Aldric baru menginjakkan kaki pada halaman rumah ketika waktu menunjukkan pukul 9 malam, diiringi hujan yang jatuh di akhir musim semi. Ketika memasuki ruang tamu, ia langsung mendapati ibunya tengah berjibaku dengan sebuah tablet pintar, secarik kertas, dan pena. Hubert berada di samping wanita itu, fokus pada tumpukan kertas berisi rangkaian soal dan jawaban. Si sulung terlampau hafal dengan kebiasaan orang tuanya. Kadang dia berpikir bahwa ayahnya itu budak cinta sejati yang mau-mau saja disuruh melakukan berbagai pekerjaan yang bukan tugasnya, termasuk membantu mengoreksi hasil ujian murid-murid Bellatrix seperti ini. Padahal Hubert sendiri punya berita yang harus dianalisa ulang. Belum lagi urusannya sebagai seorang developer usaha perumahan yang harus menangani berbagai klien.

"Aku pulang."

"Al, kenapa larut sekali?" Bellatrix melirik sekilas pada putranya yang muncul dari pintu ruang tamu.

"Hm. Ada live recording lagi, Ma. Lumayan makan waktu jadinya." Aldric berhenti sebentar sembari mengacak rambutnya sendiri.

Melihat penampilan sulungnya sudah cukup kacau dengan rambut dan pakaian setengah basah, kancing kemeja hitam terbuka hingga baris kedua serta lengan yang ditekuk asal, Bellatrix menjawab, "Ya sudah, bersihkan dirimu. Masih ada sup daging dan sayur kalau kau belum makan."

Pemuda pucat itu hanya mengangguk, lalu segera menuju bagian belakang rumah. Menggeletakkan begitu saja tas selempang hitam besar di meja makan dan segera menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri, barulah ia menuju kamar dengan bath rope abu-abu gelap membalut tubuh. Senyumnya terbentuk ketika mendapati adiknya serius bermain piano di dalam studio. Lagu yang dimainkan anak itu sedikit terdengar dari luar, dan itu cukup memancing rasa penasarannya. Ia segera berganti pakaian dan bergegas menemui si bungsu.

"Kakak! Long time no see." Victory langsung menyapa riang begitu pintu studio terbuka.

Si sulung berbalas senyum sembari menggapai kursi lain di pojok ruangan, kemudian duduk di samping adiknya. "Padahal aku pulang setiap hari."

"Ya. Tapi terakhir kali aku melihat kakak itu dua hari yang lalu. Kakak sibuk sekali sih." Victory mencibik lucu, pura-pura merajuk.

Dengkus tawa terdengar dari bibir Aldric. "Maaf.. Aku tidak bisa menemanimu terapi kemarin. Dan waktu pulang, itu sudah lewat tengah malam. Jadi aku tidak ingin membangunkanmu. Apa kemarin lancar?"

"Hum. Mereka bilang, itu yang terakhir," seru Victory.

"Syukurlah.. Aku tau kau bisa melewatinya, Adik." Aldric mengusap lembut lutut adiknya dengan ekspresi bangga bercampur syukur. Mengingat perjuangan Victory untuk dapat berjalan kembali, jatuh dan bangun berkali-kali hingga tak jarang menimbulkan luka di tubuhnya, membuat semua orang di sekitarnya merasa bersalah lantaran tidak dapat membantu apapun selama tiga bulan ini selain memberikan ucapan penyemangat. "Ngomong-ngomong, apa kau akan membawakan lagu tadi?"

"Ya. Kakak ingat? Dulu kita nonton filmnya di rumah Jimin dan aku sama sekali tidak tahu maksudnya. Tapi kita suka lagunya." Mata perak itu tampak berbinar-binar.

"Kukira kau malah sudah lupa." Aldric mengangguk paham. "Kenapa harus lagu itu?"

Tiba-tiba Victory tersenyum dalam diam, menyorot dengan tatapan tak terbaca. Kemudian tatapannya jatuh pada deretan tuts monokrom kesayangannya. Ia membelai satu persatu baris mengkilat itu. "Aku ingin memainkan lagu ini untuk Kakak, orang tua kita, dan Jimin."

Pemuda itu kembali menoleh pada lawan bicaranya. "Karena kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama sejauh ini. Ada banyak sekali kenangan saat kita susah dan senang. Jadi... Anggap saja ini rasa terima kasihku."

Aldric terkekeh tanpa arti. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ungkapan terima kasih yang seperti itu justru terkesan menyedihkan. Untuk apa disampaikan lewat lagu bila setiap hari kau bisa membalas kebaikan dengan kebaikan lain? Tapi keahliannya dalam menyampaikan sanggahan yang ia rasa tumpul dan sering kali terlalu frontal membuatnya takut menyakiti perasaan Victory. Akhirnya, ia hanya memilih tersenyum.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang