Kalian pasti tahu dong judul ini terinspirasi dari mana. Haha... Yuk sambil dengerin 4 O'clock yuk.
.
.
.
Hanya berbagai spekulasi tak berujung yang ia dapati ketika semua memilih bungkam. Sementara objek yang ditunggu masih berada di dalam sana, bertahan dan dipertahankan.
Merasa sebagai satu-satunya orang asing, Adity bahkan tidak berani meloloskan satu pertanyaanpun perihal tumbangnya Victory, sebab dari awal ia telah melihat gurat ketegangan di wajah setiap orang yang menurut perkiraannya adalah keluarga pria muda itu.
"Pakai ini dulu."
Diliputi ketegangan, Adity sedikit terhenyak ketika sehelai jaket tebal tersampir di punggungnya. Maka ia mengulas senyum paksa untuk sekedar berterimakasih.
"Nanti kau kedinginan, Jimin."
"Aku masih memakai baju hangat," tegas Jimin sembari menatap pakaian Adity yang hanya berupa sutra tipis dengan balutan selendang transparan. "Oh iya, Luisa sudah mengambil barangmu di RockOpera. Sebentar lagi dia akan sampai," ucap Jimin rendah.
Dalam diam Adity membenak, benar kata Victory, Jimin memang orang yang baik. Bahkan di saat gentingpun dia masih sempat memikirkan hal sekecil ini, termasuk melindunginya dari dingin hingga soal tas Adity yang ia tinggalkan begitu saja di ruang ganti. "Terimakasih, Jim."
Butuh sekitar 30 menit sampai pintu yang menyembunyikan keberadaan Victory kembali terbuka. Seorang dokter pria berciri khas Eropa langsung dikerubungi oleh keluarga Victory, juga Jimin. Adity hanya berdiri di tempat, melihat dokter yang menjelaskan entah apa. Yang ia mengerti dari ucapan pria bersneli itu hanya tentang hemoglobin yang menurun.
Tak lama kemudian pandangan gadis itu tertuju pada beberapa perawat yang mendorong brankar dengan tubuh Victory di atasnya. Bagai deja'vu, peristiwa saat pertama kali ia melihat sang pianis serasa terjadi kembali di hadapannya. Tidak sadarkan diri setelah tampil, masih dengan stelan jas hitam, mendapat pertolongan dari beberapa orang. Bedanya, kali ini tubuhnya dilengkapi masker oksigen, serta setidaknya tiga jenis infus yang menggantung di tiang samping ranjang beroda.
Brankar dorong itu akhirnya berhenti di sebuah kamar rawat yang berada di lantai dua. Sekilas Adity menengok keadaan di dalam sana yang tampak sudah ditempati seseorang sebelumnya. Penghangat ruangan yang masih menyala, vas transparan berisi bunga lili putih yang hampir layu, beberapa peralatan makan dan buah-buahan di atas nakas, serta dua atau tiga selimut rumahan teronggok di sofa tak jauh dari brankar.
Adity memilih mundur teratur saat dua orang dewasa yang dari perkiraannya adalah orang tua si senior mendekati sosok yang tengah berbaring, menggenggam erat tangannya dan menciumi kening yang basah oleh keringat. Ia bercokol di sisi luar pintu sampai suara nasal rendah menyapa rungunya.
"Kau masih di sini rupanya."
Gadis itu berpaling, menunduk segan pada sosok yang pernah ditemuinya ini.
"Senior Aldric." Malu menggelitik rasa si gadis atas suaranya sendiri yang lucu, tercekat di tenggorokan seperti cicitan berang-berang.
"Apa yang ingin kau katakan pada adikku tadi? Kau menyukai apa?" Masih sama seperti waktu pertama kali bertatap muka, perangai serta suara dinginnya membuat si gadis bergidik.
"I-Itu..." Tangan Adity sibuk meremat ujung jaket Jimin yang masih ia kenakan sambil merutuk dalam hati. Ada banyak yang ingin ia tanyakan mengenai Victory, tapi mengapa malah dirinya yang mendapat pertanyaan semacam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fiksi Penggemar(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...