21. Keajaiban

673 73 12
                                    

Jika pagi hingga sore hari dia begitu bersemangat mengikuti kuliah, mewakili Profesor Ludwig memberi kuliah pada adik tingkatnya, tertawa lepas sambil menghabiskan sore bersama Jimin, Luisa, dan Adity di pasar hingga terlibat perkelahian dengan pria asing, malam ini kondisinya tiba-tiba menurun drastis.

Entah sudah yang keberapa kali dalam minggu ini, Victory kembali memuntahkan semua yang ada dalam perutnya. Keringat dingin telah membanjir seluruh tubuh, sedang kedua tangannya masih mencengkeram pinggiran kloset. Beruntung sekarang ia tak perlu menutupi keadaannya lagi. Saat ini Bellatrix memijat tengkuknya dan membantu sebisa mungkin, walau hampir tak mengatakan apapun.

"Sudah?" tanya sang ibu ketika bungsunya telah berhenti mual.

Yang ditanya hanya mengangguk dengan nafas yang masih tersendat. Tampangnya kuyu, dan ia merasa seluruh tulangnya melunak. Belum lagi sisa nyeri di perut yang tak kunjung hilang akibat hantaman keras beberapa jam yang lalu. Tapi anak itu masih berusaha berdiri, menggapai wastafel untuk berkumur, menghilangkan rasa sepat dan pahit di mulut.

Dengan telaten Bellatrix memapah putranya keluar kamar mandi, dibantu oleh si sulung. Mereka mendudukkan Victory di pinggir ranjang karena bajunya telah basah oleh keringat dan air dari lantai kamar mandi. Kepala anak itu bersandar sepenuhnya pada pundak kekar Kakak. Ia memejam, menunggu hilangnya rasa teraduk dalam perut.

"Makan, ya? Mama buatkan bubur manis bagaimana?"

Si bungsu terlihat menghembuskan nafas berat lalu menggeleng enggan, menatap sayu ibunya.

"Besok jadwal kemo-mu, Tory.. Kau harus punya tenaga," sanggah Bellatrix. "Sup ayam dan wortel mau?" Meski masih ada kecanggungan, wanita itu tak ingin menyerah. Ia menawarkan makanan yang paling disukai putra-putranya, dan paling mudah mereka terima saat sakit.

Ini keajaiban, pikir Victory. Orang yang paling dia harapkan kedatangannya seumur hidup walau dulu rasanya sangat mustahil, kini mulai menaruh perhatian padanya. Namun juga terbersit dalam benaknya, 'Kalau aku sehat, bisakah Mama sebaik ini padaku?'

Buru-buru Victory menyangkal pemikiran itu. Setidaknya, kini Mama semakin berpihak padanya. Terlepas dari apapun yang telah ia alami, ini adalah kebahagiaan baru bagi Victory. Sungguh, ia sangat bersyukur bahwa kini kasih sayang keluarganya mulai terasa lengkap. Iapun mengangguk, tak mau membuat wanita yang paling ia cintai itu terlalu cemas.

"Oke, tunggu sebentar." Tatapan Bellatrix mengarah pada si sulung yang tengah menahan punggung adiknya. "Aldric, tolong bantu adikmu."

"Baik, Ma."

Begitu Bellatrix berlalu dari kamar Victory, Aldric bergegas mengambil sweater dan celana training hitam dari lemari adiknya secepat mungkin. Mengingat anak itu terlihat begitu lemas seolah tak punya tenaga untuk menopang diri sendiri.

"Ayo ganti bajumu."

"Iya. Kakak keluar dulu."

Aldric mengangkat sebelah alis, heran. "Sempat sempatnya anak ini malu pada kakak sendiri." Gerutuan itu hanya dibalas senyum lebar.

"Ya sudah, cepatlah. Aku akan kembali."

"Hum."

*

"Mama perlu aku bantu tidak?"

"Oh, tidak. Kau temani adikmu saja."

"OK."

Bellatrix menatap punggung sulungnya yang akhirnya hilang ditelan belokan lorong menuju kamar si bungsu. Kemudian ucapan Aldric kembali terngiang di telinga, berputar berkali-kali di benaknya bagai rekaman usang.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang