Kalau Luisa tidak salah memperkirakan, matahari pasti hampir ternggelam saat ini. Bahkan betisnya sudah hampir kebas mengelilingi pusat perbelanjaan sejak pulang dari kampus, tapi sepertinya itu tak berlaku bagi Adity yang biasanya lebih memilih rebahan sepanjang waktu luang. Dari satu toko ke toko yang lain, mencoba berbagai pakaian tanpa membelinya, mengitari outlet parfum tapi keluar dengan tangan kosong. Sampai saat ini yang dibeli oleh gadis India itu hanya sepasang anting bohemian dan kaus kaki biru muda bermotif gambar domba pink, serta berbagai makanan kecil yang telah mereka habiskan beberapa menit lalu sembari berjalan.
"Sudah cukup, Beb. Ayo pulang."
"Eh eh, jangaan. Sebentar lagi."
"Mau apa lagi? Kita sudah berkeliling berjam-jam."
Gadis beriris biru terang itu sontak memberatkan tubuhnya. Ia kembali mendesah berat, lalu menatap tajam pada Adity. "Kau ini kenapa sih?" Nada bicaranya sedikit naik.
Adity menggaruk pelipis dengan tatapan bingung. "Memangnya aku kenapa?"
"Ya mana ku tahu? Yang aneh dari tadi pagi itu kau. Habis makan tikus mati atau bagaimana sih?!"
Ocehan Luisa lengkap wajah yang tertekuk itu membuat Adity melongo. Ia baru menyadari berapa lama dirinya menyeret gadis itu berkeliling tanpa tujuan ketika melirik pada Rolex silver yang bertengger di pergelangan tangan kiri. Empat jam sudah.
"Aaah... Ayolah, Lui... Sebentar lagi ya? Yaa?" Alih-alih menurut, Adity justru merengek layaknya balita yang meminta permen kapas pada ibunya. Ia bahkan menarik lengan Luisa untuk kembali berjalan.
"Tidak mau!"
"Ayolah..."
"Tahu tidak? Kalau begini kau malah terlihat seperti buronan."
Dalam telisik tajam sahabatnya, Adity tertegun seketika. Seseorang harus mengingatkannya lagi bahwa Luisa adalah social butterfly yang sudah diberi peran penting dalam perusahaan transportasi orang tuanya. Berhubungan dengan berbagai macam manusia dalam pekerjaan paruh waktu pasti telah mengasah sisi pekanya yang kadang menjadi terlampau tajam. Dan lagi, kalau dipikir-pikir, ungkapan buronan sepertinya cukup tepat untuk menggambarkan situasi Adity hari ini. Dia sedang menghindar. Bukan dari siapapun, melainkan kabur dari gelegak dalam hati yang terus menggiring pikirannya pada satu nama.
"Ada apa sebenarnya?"
Sedikit banyak tatapan penuh selidik Luisa menggoyahkan pertahanan yang dibangun Adity sejak pagi. Ia menunduk merasakan darah mengalir cepat dalam tubuhnya.
"Senior Victory operasi paru-paru hari ini. Pagi tadi ibunya datang ke kampus untuk memberi tahuku," lirihnya setelah bibir itu terkunci beberapa saat.
Mata Luisa membola seketika. "Lalu?"
"Ya..." Adity menggaruk tengkuknya, kikuk. "Tidak apa-apa sih.."
Kedua alis Luisa hampir bersatu mendapati perangai Adity yang membuatnya gemas, ingin mencekik gadis itu saat ini juga.
"Ya sudah, ayo pulang." Adity bergegas cepat.
"Tunggu." Luisa meraih lengan gadis itu hingga langkahnya kembali terhenti. "Ibunya sampai datang padamu dan kau masih di sini? Apa itu tidak keterlaluan, Adity?"
Jelas bukan hal baik saat Luisa si konyol telah menyebut nama aslinya begini. Tapi kali ini Adity memilih membela dirinya. "Aku tidak ingin terlibat dengan mereka lagi. Victory itu pembohong. Kakaknya, sahabatnya, dan siapapun orang di sampingnya semua juga sama. Mereka melibatkanku dalam urusan yang tidak seharusnya kucampuri. Aldric yang kukira pendiam saja sampai membuatku tertipu dengan tampil di sanggarnya, semua untuk Victory. Mereka semua pengecut." Adity berkilah tanpa peduli tatapan manusia lain yang berlalu-lalang di tempat terang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...