2. Tuan Pianis

1.2K 108 54
                                    

Seingatnya, ia baru saja beranjak dari panggung Show Hall, mengendalikan gemuruh jantungnya karena momen indah penuh sorak tepuk tangan dari ratusan manusia dalam gelap jajaran bangku penonton. Walau letih memang terasa sejak pagi, ia tak menyangka itu akan menjelma nyeri di seluruh bagian belakang tubuh hingga membuatnya tumbang. Namun yang tertangkap oleh retinanya begitu berhasil menyesuaikan cahaya kini adalah langit-langit berwarna putih yang asing, juga aroma khas yang ia kenal.

"Hei. Kau bangun?"

Pemuda itu menoleh perlahan pada sumber suara. "Jim... Kenapa.. Aku di sini?" orang yang sudah pasti berstatus sebagai pasien menyapa parau. Sekilas ia melirik jendela yang terpatri di samping tempatnya berbaring dan mendapati langit telah gelap.

"Kau pingsan, bodoh. Kau ambruk setelah lomba itu." Jelas terlihat tatapan tajam yang mengisyaratkan kecemasan di iris cokelat Jimin.

Pemuda yang berbaring di kasur rumah sakit tersebut masih diam, menerka apa yang terjadi di sekitarnya hingga suara sahabatnya kembali terdengar. "Biar kupanggilkan Dokter Martin."

Jimin buru-buru pergi, meninggalkan sahabatnya dalam keterkejutan. Kini kepala laki-laki itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Apa Jimin yang membawanya kemari? Kenapa harus Dokter Martin? Apa saja yang telah Jimin ketahui tentangnya?

"Halo, Tuan pianis! Bagaimana kabarmu?" Tirai bilik rawat tersibak oleh sosok pria dengan jubah putih kebanggaannya, membuyarkan lamunan orang yang disapa dengan suara dan wajah cerianya.

"Hai, Dokter." Yang disebut Tuan pianis mau tak mau memberikan senyum samar. Pelan-pelan mendudukkan diri sambil sesekali meloloskan ringisan sebab gelitik nyeri yang masih sesekali menyambangi tubuh belakangnya. "Kau pasti lebih tahu kabarku hari ini, kan?" selorohnya sebelum iris peraknya menyorot seseorang di belakang sang dokter dengan ekspresi yang tak terartikan.

Dokter hampir paruh baya itu terkekeh gemas, lalu membantu menaikkan kepala brankar agar pasiennya dapat bersandar. Ia melanjutkan kunjungan dengan melakukan serangkaian pemeriksaan singkat dan kembali tersenyum.

"Syukurlah semua hampir kembali stabil."

Kemudian ia menoleh ke belakang. "Ah... Tuan Park, terimakasih sudah memanggilku. Tapi, apa kau tidak keberatan jika aku berbicara berdua dengan temanmu? Ini tidak akan lama."

Tanpa menunjukkan respon berlebihan, Jimin langsung mengiyakan permintaan sang dokter dan undur diri.

"Victory Couval. 21 tahun, mahasiswa." Terdengar suara rendah nan tegas Dokter Martin yang kini mendudukkan tubuhnya di kursi plastik terdekat dari brankar Victory, mengabsen satu persatu profil dari pasien di hadapannya tanpa sedikitpun kesan menekan. "Seandainya temanmu tidak membawamu kemari siang tadi, aku pasti sudah lupa bahwa kau pernah datang sebagai pasien dua bulan yang lalu."

Pemilik nama Victory itu hanya mampu bergeming di pembaringan dengan perasaan yang berkecamuk tak karuan.

"Kenapa kau tidak menuruti kata-kataku? Kau bahkan tidak menebus resep yang kuberikan." Kali ini suara itu berubah lembut seiring dengan tatapan menelisik. "Aku tidak bermaksud memaksamu. Tapi aku yakin kau memahami penjelasanku dengan baik. Kau butuh penanganan, Victory."

Pasien tetap bungkam, tak berniat menjawab pertanyaan Dokter Martin. Lebih tepatnya, ia bingung harus mengatakan apa. Begitu banyak hal yang menurutnya tak mungkin ia jelaskan secara gamblang pada dokter itu.

"Nak, apa keluargamu sudah tahu hal ini?" tanya Martin sekali lagi yang akhirnya membuat pasiennya perlahan mengarahkan pandangan resah padanya.

"Belum ya?" Sang dokter terkekeh singkat. "Kenapa? Tidak ingin membuat mereka cemas?" tebaknya sesuai alasan yang biasa diberikan oleh para pasien.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang