"Tory bisa sendiri, Ma.."
"Diamlah. Tanganmu masih diinfus."
Bibir si tampan bermata elang itu mengatup rapat seketika begitu mendengar hardikan ibunya.
Hari berhujan yang seharusnya begitu dia sukai tak mampu mengusir situasi rikuh sejak ia bangun dari tidurnya yang lebih dari 24 jam. Sebab, sejak pagi Mama memilih berada di sini dan sudah mengambil cuti beberapa hari ke depan untuk menungguinya. Bukannya tidak senang, sih. Hanya saja, Victory jarang sekali berdekatan dengan ibunya selama ini. Paling dekat, mereka akan berada dalam satu ruangan saat latihan piano atau sarapan dan makan malam. Itupun tidak lebih dari tiga jam.
Kecanggungan semakin membekukan keduanya ketika Hubert dan Aldric pergi untuk urusan masing-masing. Kalau pagi tadi Papa yang membantunya ke kamar mandi dan mengambil ini itu untuknya, kini Bellatrixlah yang bertugas mengurus anak itu sepenuhnya.
Suapan demi suapan yang terasa hambar diterima Victory dengan pandangan senantiasa ditundukkan, begitu juga dengan sang ibu yang lebih memilih menatap mangkuk bubur di tangan. Tidak ada pembicaraan apapun lagi. Sepanjang haripun, Bellatrix hanya akan berpura-pura membereskan kamar atau bertanya dengan nada terlewat dingin, apakah putranya membutuhkan sesuatu. Sedangkan si pasien terlalu malu untuk meminta bantuan, sehingga ia memilih melakukan apapun sendiri dan malah memancing gertakan sang ibu.
"Ma.. Sudah.."
"Ini belum sampai setengah." Bellatrix mengernyit tak suka.
"T-Tory mual, Ma.." gagap si bungsu sembari membekap mulut.
Melihat matanya berair dan tangan yang perlahan memeluk perutnya sendiri, Bellatrix akhirnya mengalah. Ia meletakkan mangkuk bubur ke nakas, lalu menyodorkan segelas air putih untuk putranya. Dibantunya Victory untuk minum ketika ia melihat tangan anak itu bergetar menerima gelas air, sementara tangan yang lain dengan gerakan kaku mengelus punggung anak itu, bermaksud meringankan rasa mual.
"Apa sakit? Mau ku panggilkan dokter?"
Sekilas Victory melirik Bellatrix. Ada setitik hangat di hatinya melihat kecemasan di balik mimik datar sang ibu. Walau tak dipungkiri, ia juga merasa bersalah telah banyak meminta tolong karena keterbatasannya.
Victory menggeleng, kemudian menarik nafas susah payah. Dibantu ibunya, dia kembali bersandar setengah duduk di kepala ranjang, memejamkan mata.
"Katakan kalau sudah lebih baik. Akan kusiapkan obatmu."
"Sudah tidak apa-apa sekarang, Ma."
Bellatrix mengangguk, lalu menggapai laci nakas, mengambil berbagai jenis obat yang telah ditebus pagi tadi. Tak lama kemudian, kegiatannya terhenti kala pintu diketuk. Wanita itu bergegas membukanya.
"Siang, Bi. Kami datang menjenguk." Pemuda manis yang sudah dia anggap anaknya sendiri mengumbar senyum lebar di depan pintu kamar rawat. Di belakangnya, Bellatrix dapat melihat dua orang gadis berdiri canggung, membawa buket bunga dan sekeranjang buah-buahan. Satu di antaranya menyatukan kedua telapak tangan sambil tersenyum dan menunduk tanda hormat.
"Oh... Jimin rupanya. Masuklah," ramah sang ibu.
Ketiga anak muda itupun masuk dan menyapa. "Vi, lihat. Juniormu datang."
Mata Victory terbuka seketika mendengar suara yang sangat ia kenal, Jimin. Namun ia lebih terkejut melihat siapa yang datang bersama sahabatnya.
"A-Adity?" lirihnya sembari kembali mendudukkan diri, mengabaikan lemas yang belum juga pergi.
Yang ditatap mengulas senyum terbaik. "Hai, Senior. Bagaimana keadaanmu?"
Hanya beberapa detik sampai kedua sudut bibir Victory terangkat dan menunjukkan deretan gigi rapinya. Matanya yang menyipit itu tampak berbinar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fiksi Penggemar(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...