4. Mengubah Impian

651 100 25
                                    

"Katamu kau harus mengikuti resital sebentar lagi. Kenapa malah di sini?" Jimin meletakkan buku-buku informatika dan statistika miliknya di meja kafe, lalu mendudukkan diri. Sementara di hadapannya, seseorang tengah berkutat dengan pc dan kertas-kertas.

"Aku juga butuh uang, Jim," ucap pemuda beriris perak tanpa memalingkan fokus pada apa yang ia kerjakan.

Jimin mengangguk dua kali, lalu memilih diam beberapa saat. Mengetahui segala hal tentang seseorang tidak selalu mudah memang. Ia jadi harus berhati-hati dalam mencari topik pembicaraan.

"Jadi... Bibi Bellatrix masih seperti itu?"

Victory memilih menghentikan aktivitasnya. Ia menyeruput matcha hangat yang belum tersentuh sejak setengah jam lalu.

"Kau sudah biasa mendengar yang seperti ini, kan?" Senyum kecut tergambar di bibir pemuda tampan itu.

"Lalu, Paman Hubert?" lanjut Jimin.

"Tanpa izin Mama, dia tidak bisa berbuat apapun terang-terangan. Lagipula, aku tidak mau terlalu membebani Papa, Jim. Dia sudah lebih dari baik dengan membesarkanku dan Kakak sampai sekarang."

Tak lama kemudian Victory menunjukkan kerut samar di keningnya, tampak sedikit kesal. Ia lalu membuang napas kasar dan menggolekkan kepala tepat di samping laptop yang masih menyala dengan lengan kanan sebagai tumpuan.

Seorang waiters datang menyuguhkan coklat panas pesanan Jimin. Ia mengangguk sekilas sebagai ucapan terimakasih, lalu kembali menatap sahabatnya.

"Hei. Kalau lelah, lebih baik kau pulang dan istirahat saja."

"Tidak. Aku harus menyetorkan nilai pada Profesor Ludwig sebelum jam 3. Lagipula, di rumah juga sama saja. Aku akan tetap latihan." Victory kembali menegakkan tubuh, meregangkan otot tangan dan punggungnya, kemudian mulai mengetikkan angka-angka pada tabel di layar pc lagi.

Menjadi asisten dosen memang posisi yang menguntungkan. Selain presensinya yang menjadi terhormat di kalangan mahasiswa, asisten dosen akan mendapat imbalan. Tapi ini tidak sepenuhnya menyenangkan.

"Vi... Apa kau tidak berniat memberitahu keluargamu yang sebenarnya?" Jimin bertanya dengan hati-hati, walau faktanya kecemasan tengah membuncah dalam batinnya. Victory tidak sekuat dulu. Dia mudah kelelahan, dan imunitas tubuhnya menurut karena hal buruk yang bersarang di dalam sana.

Pemilik iris perak itu hanya melirik sekilas lawan bicaranya, terkekeh remeh sembari menggeleng dan kembali fokus pada kegiatannya.

"Vi, keadaanmu berbeda sekarang. Kau harus beristirahat dan segera berobat. Jika kau terus merahasiakan ini aku takut__"

"Jim," sahut Victory dengan suara dingin. "Kau tahu betul bagaimana keadaan keluargaku. Mengatakan yang sebenarnya hanya akan menambah masalah."

Seketika Jimin bungkam. Ia terlalu paham bagaimana keluarga Couval. Victory bukan tipe pembuat masalah atau semacamnya. Ia bahkan cenderung menjadi sosok yang selalu menerima keadaan tanpa mengeluh. Hanya saja, hubungannya dengan sang ibu benar-benar buruk. Baik Jimin maupun orang yang ia pikirkan itu sama sekali tak mengerti, mengapa Bellatrix memperlakukan Victory dan si sulung Aldric begitu berbeda sejak kecil.

"Kalau kau datang hanya untuk ceramah begini, lebih baik kau pulang saja, bocah," gerutu Victory.

"Kau yang memintaku menemuimu, sialan. Kenapa malah mengomel!" desis Jimin, tak terima.

Dan Victory justru meringis lebar. "Hehehe... Aku butuh tumpangan. Karena aku punya teman, jadi harus dimanfaatkan."

"Sejak kapan kita berteman?!"

Baiklah. Jimin tak tahan lagi untuk mendaratkan jitakan di kepala sahabatnya, hingga sang empunya tubuh meringis.

"Sakit, bodoh!" Victory tetap tertawa walau sambil mengelus kepalanya yang nyeri. Memang, menggoda Jimin adalah salah satu sumber kebahagiaan.

Ritardando - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang