.
.
.
"Stop, Adity, stop."
Gadis sintal itu memelankan laju kursi roda hingga akhirnya terhenti total. "Ada apa, Senior?"
Perlahan sekali tangan Victory terangkat, menunjuk satu objek di area samping koridor rumah sakit yang tengah ia lewati. Kemudian kembali bersuara parau, "Ke sana ya?"
Adity mengernyit tak setuju begitu tahu yang ditunjuk Victory adalah bangku besi di pinggiran taman. "Hujan salju baru saja berhenti, Senior. Pasti dingin sekali. Kita jalan-jalan saja lalu kembali ke kamar."
Tidak ada bantahan dari Victory. Tapi dari belakang, si puan dapat melihat kedua tangan pemuda itu bergerak-gerak kaku di depan tubuh. Sontak Adity mengunci roda kursi lalu melangkah ke depan seniornya untuk melihat apa yang sedang dia lakukan.
"Senior, kau sedang apa?" Suaranya setengah terpekik sembari berjongkok di hadapan Victory bersamaan meraih kedua tangan si pemuda.
Sang empunya tubuh yang tadinya menunduk beralih menatap polos ke arah Adity dengan resleting jaket yang sudah berhasil ia turunkan separuh. "Pasti dingin. Pakai ini, terus.. Kita ke sana."
"Astaga..." Adity mendesah kesal. "Siapa yang harus mencemaskan siapa sebenarnya?" Dengan ekspresi layaknya seorang ibu memarahi anak nakal, ia segera mengancingkan kembali jaket tebal Victory dan membenahi syal abu-abu yang terburai berantakan.
"Ya sudah, kita ke sana tapi tidak boleh lama-lama. Oke?"
Senyum puas terbit di bibir pria muda tersebut begitu mendapat persetujuan kekasihnya. Akhirnya, merekapun berakhir di tempat yang Victory inginkan. Adity duduk di bangku besi, sementara pemuda berstatus pasien itu tetap di atas kursi rodanya, tepat di samping sang kekasih.
Ini berawal dari ulah Victory yang terus mengeluh bosan di dalam kamar, padahal selang intubasi yang membantunya bernapas pasca operasi paru bahkan baru dilepas kurang dari 24 jam, membuatnya sedikit menangis sambil meremas tangan Aldric karena rasa sakit ketika benda asing itu ditarik keluar dari trakea. Untuk bicara saja tenggorokannya masih nyeri dan gatal. Namun, sifat khas anak bungsu Couval memang bisa muncul meski begitu jarang. Dan hari ini, sisi keras kepalanya berhasil membuat Aldric bersusah payah menggendongnya untuk duduk di kursi roda, menata kembali tabung oksigen serta botol infus. Dan Adity yang selalu membawa tugas kampus ke rumah sakit, berhenti mengerjakan tugasnya.
"Indah sekali, kan?" Lengkung manis tidak juga luntur dari bibir pemuda itu, pun iris peraknya berbinar semangat menyapu alam sekitar yang diselimuti salju tipis meski wajahnya masih tampak kuyu dan sedikit bengkak.
"Jadi, selain hujan dan piano, kau juga sangat menyukai salju, Senior?" Adity menyahut sambil terus menggenggam tangan kiri Victory yang tak terlindungi, sebab jarum infus terpasang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ritardando - KTH
Fanfiction(Revisi) Pada akhirnya, yang diinginkan Victory bukan lagi tampil di panggung megah, sorak sorai penonton untuknya, atau kemenangan dalam kompetisi, melainkan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Untuk mendukung imajinasi, cerita ini dilengkap...