1. Perihal sepi dan perasaan

672 96 75
                                    

Moto ruangan kami, jangan ganggu kalau enggak mau dililit kabel telepon!

–Penghuni CCS yang lagi sensi–

–––

––

–

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

––

–––

"Jadi istri saya, bisa?"

Perkataan seperti itu seharusnya terdengar romantis, meski terkesan memaksa dan tidak mau ditolak. Dengan candle light dinner, diiringi musik yang lembut, dan si lelaki berlutut dengan sekotak cincin. Tapi beda cerita kalau seperti ini. Yang ada Lea dibuat menganga. Mulutnya terbuka begitu lebar. Agaknya cukup untuk memasukan bola tenis ke dalamnya.

Pikiran Lea mulai kusut. Baru pertama kali ada orang yang melamarnya dengan cara absurd seperti ini, suaranya juga cenderung memaksa pula. Kalau mau mengerjai orang kira-kira dong, Lea masih jomblo soalnya.

"Bisa, kan?"

Suara itu kembali terdengar. Ditengah problema status single yang merongrong, juga tuntutan sang paman untuk menikah, permintaan seperti itu memang bisa jadi solusi. Tapi orang gila mana yang meminta orang asing untuk jadi istrinya?! Lewat panggilan telepon lagi.

Sayangnya, malam itu Lea jadi ikutan jadi orang gila kerena memilih untuk meladeni. "Bisa kok, Mas. Kita mau nikahnya kapan ya?"

"Sekarang."

Wah ... pasien rumah sakit jiwa mana yang sudah kabur? Pasti dia gila karena keinginannya untuk menikah tidak terpenuhi.

Melebarkan senyum, Lea menghela napas sejenak. "Mas," panggilnya dengan suara lembut. "Kalau mau cari istri, teleponnya ke biro jodoh, bukan ke perusahaan sepatu. Dasar gemblung!"

Brakk

Lea menutup panggilan sepihak sambil menggebrak meja. Ada-ada saja. Kalau memang si penelepon tadi kurang kerjaan, seharusnya jangan menambah pekerjaan orang lain. Santai-santai di kamar kan, bisa. Gara-gara telepon barusan Lea harus ketinggalan cerita.

Demi menyambung kembali acara yang tertunda, Lea menyeret serta kursinya ke meja Gita–ibu satu anak yang memiliki wajah baby face. Bergabung bersama kelima orang yang sudah berkumpul disana.

"Siapa, Lea?" tanya Rudi pertama kali saat Lea bergabung. Sedikit informasi, Rudi ini salah satu dari dua lelaki yang menghuni ruangan CCS* sedang empat sisanya perempuan.

"Orang gila!" Lea bersungut kesal, tangannya menyambar toples kripik tempe dari tangan Rudi.

"Orang gila ketemu orang gila, cocok deh." Irene, perempuan seumuran Lea yang punya tinggi badan paling minimum di ruangan itu kiut menyahut.

Ineffable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang