21. Pembicaraan di dalam mobil

91 20 11
                                    


Kalau perasaan bisa diukur angka, tidak akan banyak hati yang patah di luar sana. Sebab, mereka bisa mengatur angka terendah untuk menyukai seseorang.

-Haapan orang yang enggan ditolak-

---

--

-

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

--

---



Sepuluh menit berlalu sejak mobil berhenti di depan rumah tanpa pagar yang akhir-akhir ini didatangi Danu. Orang yang duduk di bangku penumpang tampak anteng memilin ujung bajunya, seperti tidak ada niat untuk turun. Danu yang berada di balik kemudi juga hanya diam, tidak ada tanda-tanda ingin meminta Lea untuk turun atau sekadar berkata "Lea, kita sudah sampai," seperti yang biasa dia lakukan tiap mengantar perempuan ini pulang. Ia hanya sesekali mengawasi Lea dari sudut matanya.

Kedua manusia berbeda gender dan usia itu sama-sama tahu ada yang harus dibicarakan pasca gagalnya kencan mereka malam ini. Hanya saja, keduanya tampak kesulitan untuk memulai satu sama lain sehingga mereka berakhir dalam keheningan yang panjang.

"Sebelumnya saya mau minta maaf soal kejadian di restoran." Setelah banyak pertimbangan, Lea akhirnya bersuara tanpa menatap si lawan bicara. "Om saya emang suka bersikap seenaknya."

"I see," timpal Danu, sekali lagi melirik Lea dari ekor matanya. "Om kamu juga perusak suasana yang baik."

Ringisan pelan keluar dari bibir Lea, itu sesuatu yang tidak bisa dia sanggah. "Makanya, saya harap kamu enggak marah sama sikapnya yang seperti itu."

"Enggak masalah," ujar Danu dengan nada menenangkan. "Saya juga akan seperti itu kalau punya keponakan secantik kamu."

Sekuat tenaga, Lea berusaha untuk tidak menoleh ke arah Danu. Ia tidak mau lelaki di sampingnya ini melihat wajahnya yang halo e perubahan warna. Lea mengakat sebelah tangan ke wajah, menepuk pelan pipi kirinya agar tersadar. Bisa-bisanya dia tersipu akan pujian yang kerap Danu lontarkan belakangan ini. Terlebih, seharusnya saat ini ia merasa malu karena sikap Bagas di restoran.

"Kamu baik-baik aja?"

"Ya?" Lea refleks menolehkan kepala. Saat tersadar, Lea hanya bisa merutuk dalam hati, mempertanyakan kemana tekad kuatnya untuk tidak menoleh. Dani pasti melihat jelas rona wajahnya dengan bantuan cahaya lampu yang terpasang di depan rumah, juga dari lampu di dalam mobil.

Ineffable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang