Wajah tampan, penampilan menawan, dan pekerjaan mapan, tetapi diabaikan. Standar macam apa lagi yang diinginkan para perempuan?
–Tuan pengacara yang bingung–
––––
––
–
–
–––
––––
Kaki Lea berhenti sekitar dua meter sebelum mencapai ujung jembatan penyeberangan. Ia beringsut mendekat ke pagar pembatas, kedua tangannya merangkum besi pengaman sebanyak yang telapak tangannya mampu. Berusaha melampiaskan rasa kesalnya sejak pagi. Helaan napasnya keluar perlahan, mengulangi kegiatan yang entah sudah berapa kali dilakukannya sepanjang hari itu.
Sisa hari itu memang berhasil Lea lewati dengan lancar tanpa hambatan, persis seperti kendaraan dibawah sana yang berlalu-lalang tanpa terkendala macet. Niken yang sudah mengamuk di pagi hari tidak kembali untuk mencarinya. Entah itu keberuntungan karena Lea tidak harus kena murka. Atau malah kemalangan karena seharian dilanda panik menunggu dipanggil.
Selamat buka berarti aman. Ibaratnya, seperti posisinya saat ini, hanya butuh dorongan sedikit saja untuk membuatnya jatuh. Dia diberi informasi untuk menghadiri rapat hari Senin di lantai sembilan. Kalau itu hari Senin, berarti masih ada dua hari lagi0. Semua orang yang terlibat akan hadir dan diselidiki, tetapi Lea cukup yakin dirinya yang akan disalahkan. Menyebalkan!
Helaan napas Lea keluar, lagi. Yah, paling tidak, dia akan punya cukup waktu untuk mencari pembelaan. Meski itu sama dengan mengorbankan hari liburnya.
"Sudah pulang?"
Suara itu berhasil membuat tubuh Lea berjengit. Kepalanya menoleh cepat ke kiri, terkejut saat menyadari kehadiran orang lain di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat tahu jika orang itu merupakan laki-laki yang pagi tadi mengajaknya berkenalan.
Lea bergeser dua langkah, menambah jarang kosong di antara mereka. Ancang-ancang untuk berlari kalau-kalau lelaki ini mau berbuat macam-macam. Bukannya Lea terlalu percaya diri, hanya saja banyak yang bilang dirinya itu cantik. Jadi bersiap kabur sebelum diserang itu pilihan bijak.
"Kamu mau lompat?"
Dan Lea tidak suka perasaan de javu yang tiba-tiba muncul. Pertanyaan itu ia ajukan kemarin di tempat ini. Lea mendecakan lidah, kembali memandang ke bawah sana sebelum menyahut. "Saya bukan kamu."
Untuk alasan yang tidak Lea ketahui lelaki itu terkekeh pelan. Entah apa yang lucu baginya.
"Kamu enggak lagi ngikutin saya, kan?" tanya Lea kemudian, merasa curiga. Hanya itu kemungkinan yang bisa dia pikirkan saat ini
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
RomanceDari dulu Lea teramat tahu jika dirinya punya kebiasaan buruk dalam mencampuri urusan orang lain. Yang Lea tidak tahu, keputusannya untuk ikut campur dalam insiden rencana bunuh diri seorang Kamandanu Prayuda, akan memberikan efek besar dalam hidupn...