Untuk beberapa hal, diam itu adalah usaha terbaik yang bisa dilakukan. Termasuk ketika cari pasangan, toh, perihal jodoh sudah ada yang mengatur.
–Kata bijak dari Lea yang masih single–
———
——
—
—
——
———
Bukan hal aneh ketika perempuan suka berlama-lama berada di depan cermin. Entah itu saat mereka merias diri, mencoba-coba pakaian saat akan pergi kencan, atau sekadar ingin mengagumi wajah sendiri. Karenanya, kehadiran meja rias dengan kaca besar pasti tidak asing di kamar mahluk pendamping laki-laki itu. Akan tetapi, tidak begitu dengan Lea yang kini duduk di depan meja kerja dalam kamarnya. Meja kerja ini dulunya adalah meja belajar yang kemudian beralih fungsi sejak ia menyelesaikan pendidikannya.Di meja itu, ada sebuah laptop, beberapa buku, seperangkat alat kecantikan, juga cermin persegi berukuran 20×20 cm. Cermin yang ada di pojokan meja itu, hanya Lea gunakan jika sedang memoles diri, itu pun tidak memakan waktu lama. Selebihnya, Lea sering membalikkan posisi cermin atau memindahkannya ke bagaian meja lain yang tidak terjangkau pengglihatnya.
"Lihat, Lea. Wajah kita enggak mirip. Mau tahu kenapa? Karena kamu bukan anak saya. Jadi berhenti panggil saya papa dasar anak haram!"
Lea masih ingat jelas apa yang terjadi setelah itu. Orang yang selalu marah tiap dipanggil papa olehnya, menghempaskan tubuh mungilnya ke cermin besar yang belum lama menunjukkan potret mereka. Rasa sakitnya juga masih teramat jelas jika kenangan itu tiba-tiba muncul. Rasa sakit akibat pecahan kaca yang mengenai tubuhnya, juga rasa sakit karena ucapan sang ayah.
Perlahan tangan Lea terangkat untuk meraba wajahnya. Matanya memandang bayangannya di cermin. Harus Lea akui, tidak ada sedikit pun jejak dari lelaki yang ia anggap ayah pada wajahnya. Namun, ketika kemarin Danu menanyakan persentase kemiripan dirinya dengan Leo, ia tidak perlu risau. Seperti kata Leo dulu, wajah mereka punya banyak kemiripan.
"Lihat, deh, kita ini mirip. Itu artinya kamu adikku dan kita bersaudara selamanya."
Kalimat itu seperti mantra ajaib. Wajah mereka memang punya banyak kemiripan berkat gen sang ibu yang lebih dominan. Yah, meski sebenarnya Lea tidak suka disamakan dengan perempuan yang melahirkannya, hal itu masih bisa dia terima. Sebab, hanya dengan asumsi itu, Lea merasa punya keluarga dan tidak sendiri di dunia ini.
Lea tidak perlu ibu yang selalu marah dan memakinya dengan kata-kata kasar. Dia juga tidak perlu ayah yang sebenarnya bukan ayah kandungnya. Hanya Leo, dengan keberadaan kakaknya saja Lea merasa lebih dari cukup. Jadi, wajar saja Lea melakukan segala upaya untuk menemukan satu-satunya keluarga yang dia miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable
RomanceDari dulu Lea teramat tahu jika dirinya punya kebiasaan buruk dalam mencampuri urusan orang lain. Yang Lea tidak tahu, keputusannya untuk ikut campur dalam insiden rencana bunuh diri seorang Kamandanu Prayuda, akan memberikan efek besar dalam hidupn...