7. Kesepakatan

154 40 42
                                    

Terkadang, kamu butuh kepekaan lebih untuk menyadari keberadaan orang yang benar-benar berarti.

–Kata dia yang menulis kisah ini

———

——

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

——

———


"Ngapain kamu di rumah?"

Yang ditanya hanya diam, pura-pura tuli. Bahkan, ketika si penanya mendekat dengan kursi rodanya, Lea sama sekali tidak melirik. Tetap fokus pada laptop yang ada di pangkuan, seolah ingin menunjukkan jika dirinya sedang sibuk. Hingga tiba-tiba suara teriakan Lea memenuhi ruang tamu.

"Aw! Sakit Om!" Lea meringis, memegangi telinganya yang baru saja ditarik penuh perasaan.

"Biar tahu rasa kamu!" sahut Bagas tidak peduli. "Siapa suruh orang tua tanya malah dikacangin."

"Iya deh yang udah tua mah bebas," sahut Lea dengan sengit.

Sebelum Bagas kembali beraksi, Lea lebih dulu berpindah tempat. Orang yang sudah merawatnya sejak lima belas tahun lalu itu suka sekali main fisik. Katanya gemas kalau tidak mencubit bagian tubuhnya.

Alhasil Bagas hanya bisa mencibir kelakuan Lea yang menghindar itu.
"Bocah gemblung! Bisanya cuma kabur."

"Biarin."

Lea menjulurkan lidah. Semakin menggoda Bagas yang ruang geraknya terbatas. Dengan keadaannya yang seperti ini, Bagas sulit untuk bergerak bebas. Hal ini yang sering Lea jadikan bahan ejekan jika ingin membalas Bagas. Durhaka memang, untungnya Bagas baik, kalau tidak, Lea sudah berubah jadi batu yang akan menemani Malin Kundang.

Yah, bagi Lea Bagas terlalu baik. Lelaki tua itu dulu datang saat semua orang menyalahkan dirinya. Tidak sampai disana, Bagas membawa Lea pergi dan membesarkannya hingga sekarang. Lea tidak tahu sejak kapan Bagas kehilangan fungsi dari kedua kakinya. Yang jelas, sejak Bagas datang dan mengaku sebagai sepupu jauh ibunya, Bagas sudah duduk di kursi roda.

"Kok, tumben kamu di rumah, biasanya juga kencan sama selebaran." Bagas kembali bersuara, dia menggerakkan kursi roda, mendekat ke arah Lea. Ingin tahu apa yang dikerjakan anak yang sudah dirawatnya sejak usia sepuluh tahun.

"Ada masalah di kantor."

"Pasti kamu biang masalahnya, ya?"

"Kok aku?" Kepala Lea terangkat, memandang Bagas tak terima.

"Yang suka nyari ribut sama orang lain, kan, cuma kamu."

Mulut Lea terbuka, berniat membantah. Namun, kata-kata pembelaan tidak bisa lolos dari kerongkongannya. Bagas itu kalau bicara suka-suka, tetapi seringnya benar. Akhirnya, alih-alih membantah, bibir Lea hanya bisa terkatup dan mengerucut.

Ineffable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang