22. Masalah Izin

69 18 8
                                    

Banyak hal yang harus dinegosiasikan untuk masa depan, tetapi yang paling penting sekarang itu, kita berdua harus memulai untuk bisa berencana.

–Upaya untuk menyakinkan Lea–

———

——

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

——

———



Masih di tempat yang sama, mobil Pajero putih milik Danu. Hanya suasana di dalamnya yang sedikit berubah menjadi hening. Danu tergelak, seakan tidak percaya apa yang didengarnya barusan. Padahal, Danu kira Irene hanya bercanda tempo hari. Siapa sangka jika ia akan mendengarnya langsung dari Lea hari ini.

Beberapa saat setelah keheningan panjang, Danu terkekeh pelan. "Jangan gila, Lea," desisnya dengan tatapan menajam. "Semua perempuan yang memiliki anak akan punya tiga sifat itu. Kemungkinannya kecil kamu bertemu laki-laki dengan ibu yang sesuai kriteria kamu."

"Kemungkinan kecil itu bukan berarti tidak mungkin," sahut Lea tenang, matanya membalas tatapan Danu dengan berani.

Danu mendengus keras. Syarat dari Lea terlalu tidak adil. "Tapi saya tetap tidak akan berhenti."

"Danu ...."

Mata Danu terpejam saya Lea memanggil namanya untuk kali pertama. Perempuan itu biasanya hanya menyebut kata kamu juja mereka sedang bicara.

"Kamu harus berhenti–"

"Enggak akan, Lea!" sela Danu begitu membuka mata. Nada suaranya sedikit naik ketika memotong ucapan Lea "Bagaimana bisa kamu minta saya berhenti bahkan sebelum memberikan kesempatan? Saya tidak bisa menyerah semudah itu."

"Bukannya tadi kamu minta izin saya?" tanya Lea balik. "Saya enggak kasih kamu izin ja–"

"Persetan dengan izin! Saya batalkan permintaan izin itu."

Lea membuka mulut lebar-lebar. Memangnya, Danu pikir sedang memesan taksi online yang dibatalkan sesuka hati ketika ada ada taksi yang tiba-tiba lewat. Tampaknya Danu lupa ucapan jika mereka ini sedang membahas tentang perasaan.

"Kamu enggak bisa–"

"Saya bisa, Lea," sela Danu lagi. Ia tersenyum miring ketika wajah terlihat kesal. Perempuan itu pasti dongkol karena ucapannya selalu dipotong. Yah, sekarang Lea bisa paham apa yang ia rasakan sebelumnya.

Mendengus kasar, Lea membenturkan belakang kepala ke sandaran kursi mobil. Ini bukan kali pertama bagi Lea mengatakan syarat yang mungkin aneh bagi kebanyakan orang. Danu juga bukan orang pertama yang tidak habis pikir dengan ucapannya, tetapi sifat keras kepalanya ini begitu besar dibanding laki-laki yang pernah mendekati Lea. 

Ineffable Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang