[39] Tetap Hati-Hati

39 4 0
                                    

3 bulan kemudian...

Pukul sepuluh malam, Dava masih sibuk didepan laptopnya. Ia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang belum sempat selesai di kantor. Clara masuk ke ruang kerja Dava sambil membawakan Dava secangkir jahe hangat.

"Mas," sapa Clara lembut. "Ini aku bikinin kamu jahe anget. Diminum dulu, Mas." Wanita itu memberikan cangkir tersebut kepada Dava.

"Iya, Sayang, makasih, ya." Dava menatap Clara, lalu kembali menatap laptopnya. "Letak disana aja dulu, Sayang."

Clara menggeleng. "Ayolah diminum dulu sedikit, Mas. Biar badan kamu lebih enakan." Wanita itu masih menunggu Dava mengambil secangkir jahe yang sudah dibuatnya. "Cuaca juga lagi gak baik, Mas. Aku gak mau kamu malah jadi sakit. Udah malem ini, Mas."

"Tapi, Sayang-"

"Mas," potong Clara. "Plis." Wanita itu menatap Dava dengan tatapan memohon. Membuat Dava tidak tega dan akhirnya meminum jahe hangat tersebut.

Clara meletakkan cangkir jahe hangat diatas meja setelah Dava minum. Lalu ia berjalan kebelakang Dava dan mulai memijit kedua bahu Dava. "Aku pijitin ya, Mas."

"Gak usah, Sayang." Dava menoleh kebelakang.

"Udah, gak papa." Clara mulai memijit. "Kamu dari tadi loh didepan laptop, ngurus semua kerjaan. Pasti capek banget, kan? Andai aku bisa bantu, pasti aku bantu, Mas."

Dava mengelus tangan Clara lembut, lalu menatap wanita itu. "Makasih ya, kamu udah perhatian sama aku. Tapi aku beneran gak papa, kok. Aku udah biasa gini, Sayang." Pria itu memutar kursinya agar mereka bisa saling berhadapan. "Bahkan dulu pas kamu ninggalin aku, aku pernah cuma tidur 2 jam."

"Mas?!"

"Beneran. " Dava mengangguk. "Bahkan dulu aku males suka males pulang. Makanya ruangan aku di kantor ada private room nya gitu. Itu mama sama papa yang bikin biar kalo aku gak mau pulang sekalipun, aku bisa tidurnya disitu aja."

"Oh iya, aku ada liat ruangan itu," ucap Clara. "Tapi belum sempat masuk, aku kira ruangan apaan."

"Isinya kasur sama lemari gitu," tutur Dava. "Ya emang lemarinya gak gede si. Buat beberapa baju sama jas aku kalo misalnya mau ganti gitu."

"Berarti ruangan kamu di kantor ada kayak kamarnya gitu?"

Dava mengangguk. "Waktu kamu gak ada emang aku lampiasin semuanya di kerjaan, Ra. Aku suka nyibukin diri aku biar gak mikirin kamu terus." Pria itu mulai bercerita bagaimana kondisinya saat Clara meninggalkannya. "Udah pernahlah ya aku ceritain gimana hancurnya aku waktu itu. Pokoknya sampai aku bisa bikin perusahaan jadi kayak sekarang ini."

"Maafin aku ya, Mas," ucap Clara merasa bersalah. "Karna aku, kamu jadi pernah ngalamin kondisi kayak gitu, sampai gak mikirin kesehatan."

"Stttt! Gak papa, Sayang." Dava tersenyum. "Justru dengan gitu aku bisa jadi kayak sekarang, kan? Semua yang aku punya sekarang kan karna aku dulu bener-bener fokus kerja. Sampai akhirnya juga aku bisa bangun rumah ini untuk istri aku, yaitu kamu. Dan juga sesuai dengan apa yang kamu mau, kan?"

Clara mengangguk. "Aku bangga banget sama kamu, Mas." Lalu ia memeluk tubuh Dava.

"Aku emang udah mempersiapkannya untuk kamu, Ra." Dava mulai berdiri agar pelukan mereka lebih nyaman.

"Tapi, Mas," Clara merenggangkan pelukan, lalu mendongak. "Gimana kalo seandainya bukan aku yang jadi istri kamu? Sementara rumah ini kan konsepnya ada yang keinginan aku."

"Ya gak papa. Rumah ini bakal tetap aku tempatin, sama istri aku."

Clara cemberut.

"Aku yakin istri aku itu ya, kamu."

Still About UsWhere stories live. Discover now