TDOTL : CHAPTER 22

1K 193 23
                                    

"Slalu dipaksa harus bisa, sampai lupa kalau manusia juga punya batas untuk berusaha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Slalu dipaksa harus bisa, sampai lupa kalau manusia juga punya batas untuk berusaha."

-αlright?-

Hueningkai mengamati setiap jejak langkah kakinya yang ada di belakangnya, jejak kakinya menapak di pasir pantai yang kini sudah tersiram oleh air pantai.

Langkahnya yang terlalu cepat membuatnya hampir saja terjatuh karena tersandung namun dirinya tidak jadi jatuh karena kakaknya menyanggah tubuhnya dan mendengus kecil melihatnya.

"Nanti jatuh, Kai. Coba kalo gaada kakak gimana kamu nanti?"

Hueningkai menatap ke arah kakaknya itu dan menunjukkan cengirannya, kedua tangannya ia kalungkan untuk memeluk kakaknya yang lebih pendek darinya itu.

"Hehe maaf, Kak Lea cantik deh. Jangan marah-marah ya," tuturnya membuat Lea terkekeh pelan menyikapi adiknya itu.

Keluarganya yang utuh dengan kebahagiaan. Hueningkai adalah anak kedua dari tiga bersaudara, memiliki seorang kakak dan juga adik yang jauh dibawah umurnya itu. Kakak dan adiknya perempuan, hanya dia yang laki-laki.

Hueningkai tidak mengeluh karena hal itu, bahkan dirinya selalu saja mengutamakan keduanya dibandingkan dirinya sendiri.

"Kak! Ih kok pelukan ga ngajak Hiyyih!?" Kesal yang lebih mudah membuat Lea tertawa melihatnya, wajah Hiyyih yang putih itu memerah membuat Hueningkai langsung berlari ke arahnya dan memeluk erat adiknya itu. Bau bayi yang dimiliki oleh Bahiyyih membuat Hueningkai lebih tenang dan juga aman. Adiknya ini begitu sangatlah polos sekali, sehingga Hueningkai akan menjaganya dari apapun itu.

"Udah besar, manja kamu." Celetuk Hueningkai mendapat cubitan di pinggangnya karena ulah Hiyyih itu. Gelak tawa langsung saja Hueningkai lepaskan karena telah mengerjai adiknya itu.

Ketiga bersaudara itu berjalan-jalan di tepi pantai dan menikmati indahnya sunset di sore hari dan melihat senja disana.

Ketika warna-warna jingga itu memuncak memperlihatkan warnanya, Hueningkai merasakan bahunya berat dan membuat dirinya menolehkan kepalanya. Bahiyyih yang bersandar kepada dirinya itu membuat Hueningkai mengangkat tangannya untuk mengusap pelan kepala adiknya.

Lea yang melihat kedua adiknya akur itu pun tersenyum lebar, keakraban dan keamanan seolah dilimpahkan Hueningkai kepada didinya dan juga adik terkecilnya. Lea terkadang merasa kasihan dengan Hueningkai karena adiknya itu dewasa terlalu cepat dan terlalu banyak memahami hal yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang dewasa.

Bagi Lea, tidak seharusnya Hueningkai mengatahui ini. Karena adiknya itu berhak untuk bermain-main di usianya yang terbilang masih belum dewasa, kisah-kisah saat SMP nya harus terbuang dengan cara dewasanya.

The Darkness of The Light [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang