Denting dari dinding yang berbunyi secara pelan menjadi suara satu-satunya yang melihat kedua pasang sedang berdiam diri dengan isi kepalanya masing-masing. Arin yang tidak tahu harus mengatakan apa pun hanya bisa menatap ke arah kakinya yang berbalut sepatu nya. Terasa sangat canggung sehingga Arin tidak bisa mengungkap apa yang ada di pikirannya.
Sesungguhnya, Arin tidak mau berbuat jahat dan merebut segala perhatian Soobin kepada Elkey, Arin hanya ingin menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan.
Arin hanya ingin tenang, walaupun hanya sebantar, setidaknya itu berhasil membuatnya nyaman.
Arin tahu dia salah.
Arin tahu ini semua tidak baik untuk dilakukan.
Tapi, Arin juga tidak bisa menghapus perasaannya begitu saja.
Soobin memanglah cinta pertamanya, dan juga sangat sulit untuk membuatnya pergi dari pikiran Arin.
"Bin, maaf."
Akhirnya Arin mengucapkan kata-kata yang sejak tadi ingin ia ucapkan dan utarakan. Matanya benar-benar memejam dan mengaitkan kedua tangannya secara bersamaan dengan ucapan yang tadi mengalir.
"Ada apa?"
Arin terdiam sebentar kemudian menggelengkan kepalanya, dirinya langsung saja menggumamkan kata maaf kepada Soobin berkali-kali yang ada di depannya. Sampai Soobin memegang kedua bahunya dan menempatkan Arin di depan Soobin pas.
Keduanya berada di ruangan Soobin kali ini.
"Gue minta maaf, Bin. Salah banget ya gue, ngerebut lo dari Elkey, haha."
"Seharusnya gue udah sadar sejak dulu, maafin gue, Bin. Gue...".
Arin menghembuskan nafasnya pelan kemudian mendongakkan kepalanya dan menatap ke arah mata Soobin dan tersenyum pelan.
"Makasih, gue mau ngelepas lo. Lo bisa bebas ngapain aja dan gue nggak berhak buat ikut campur.".
Arin terdiam setelah mengatakannya, sesulit ini mempunyai rasa yang tak diinginkan. Sesulit inikah kisahnya jika bersanding dengan seseorang yang tidak bisa ia miliki, hingga rasa itu menyerukan kesakitan dalam dirinya.
Menolak untuk menangis, Arin lebih menunjukkan senyumannya kepada Soobin. Ketika dirinya hendak berjalan pergi keluar, cekalan Soobin di tangannya membuat langkahnya berhenti.
Soobin menatapnya dengan tatapan tak bisa dibaca dengan Arin sendiri yang tidak bisa bergerak kemanapun karena cekalan tangan Soobin pada dirinya.
"Arin, saya mau bertanya."
Arin hanya menatap ke arah lain dan menganggukkan kepalanya. Soobin beranjak dari duduknya untuk menghampiri dirinya, dengan cepat pula Arin ditariknya ke rengkuhannya.
Grep
"Ibu tiri saya bisa apa kalau hati saya ada di kamu, Rin. Ibu tiri saya bisa apa kalau semua rasa degupan jantung yang cepat itu cuma saya miliki waktu sama kamu, dia bisa apa kalau saya maunya sama kamu... Bukan Elkey ataupun perempuan lain didepan saya yang sengaja membuka dan menyerahkan hatinya untuk saya."
Soobin sejenak mengendurkan pelukannya dan memegang kedua bahu Arin untuk menghadap dirinya. Tatapannya lembut membuat Arin semakin tidak bisa melihatnya, sejak tadi Arin berusaha menahan air matanya didepan Soobin.
Apalagi, pengakuan Soobin membuatnya sedikit oleng dan lemas sekarang.
"Arin... Saya sayang dan cinta cuma ke kamu, bukan ke orang lain. Soal perjodohan itu, terlepas dari kenyataan atau hanya karangan seseorang yang benci saya, itu benar-benar tidak akan terjadi."
"Soobin hanya mencintai Arin, bukan orang lain."
Arin tidak bisa berkata apapun lagi selain berakhir menangis deras dan terduduk di lantai ruangan Soobin yang dingin.
"Bin, gue... G-gue kira, lo-"
"Jauh sebelum saya menyadarinya, tanpa sadar... Hati saya memilih kamu, dia hanya milih kamu... Bukan orang lain, Rin."
Arin yakin dengan hatinya sekarang.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Darkness of The Light [END]
Teen FictionTuhan tahu itu, semua rasa yang terbalut asa yang tak utuh. Bahkan sejumlah angin meresap nyaman melewati celah kalbu yang ada dan selalu membantu dalam setiap nyawanya. Katanya, senja itu sempurna. Katanya, mereka itu bahagia. Katanya, semua kes...