Happy Reading^^
.
.
"Kayaknya Alisa kita bawa ke psikolog aja gimana? Mamah takut banget dia kenapa-napa." Ucap Tia membuka pembicaraan saat di ruang tamu.Semenjak kepulangan Alisa dan Randi, Tia tak bisa tenang. Dokter yang memeriksa pun menyarankan mereka membawa Alisa pergi ke psikolog agar mendapatkan arahan dan juga perawatan.
Sampai saat ini, Alisa masih tertidur pulas. Tenaganya cukup terkuras karna berteriak tadi. Namun, sekarang Randi sudah tak terlalu khawatir. Semoga saja Alisa baik-baik saja.
"Abang setuju mah, Kalo dibiarin kayak gini, takutnya makin parah." Timpal Randi.
"Besok kita bawa dia, gapapa izin dulu sama gurunya." Ujar Adi.
"Abang ikut ya pah,"
"Gausah, Abang sekolah aja. Biar mamah sama papah yang nganter adek kamu. Bantu doain aja ya bang." Tia mengelus bahu Randi dengan pelan.
Randi memang tipe kakak laki-laki yang sangat memperhatikan adiknya. Sejak kecil, setiap Alisa terluka, Randi selalu jadi penolong pertama. Bagi Randi, Alisa adalah segalanya, melebihi orang tuanya sendiri.
Yap, sesayang itu Randi pada Alisa. Ntahlah, apakah Randi bisa hidup kembali atau tidak ketika Alisa pergi, bahkan ia tak bisa membayangkan sehancur apa dirinya.
Laki-laki itu beranjak dari sofa. Kakinya melangkah menaiki tangga. Perlahan, Randi membuka pintu kamar Alisa.
Disana sudah menampakkan Alisa yang masih terbaring. Hati Randi seketika merasakan ngilu. Tangannya memegangi dadanya itu dengan kuat. Kelemahan Randi adalah Alisa.
Laki-laki itu menghampiri Alisa yang tertidur pulas. Randi duduk di sampingnya. Tangannya bergerak mengusap-usap kepala gadis itu.
Cairan bening berhasil lolos dari mata laki-laki itu. Ia tak bisa menahannya. Randi terisak pelan.
Alisa yang merasa terganggu dengan suara itu pun terbangun. Ia merasakan kepalanya di usap beberapa kali. Matanya terbuka secara perlahan. Kepalanya merasa pusing.
Sorot matanya menangkap Randi yang tengah sesenggukan. Mengeluarkan semua rasa sesak di dadanya.
"Abang..." Lirih Alisa dengan lemas.
Randi yang mendengar adiknya sudah sadar, ia pun segera menghapus air matanya.
"Alisa,"
Gadis itu memperbaiki posisinya menjadi duduk dan bersandar di kepala kasur.
"Minum dulu," ucap Randi menyodorkan segelas air putih yang disimpan di atas nakas samping tempat tidur.
Alisa mengangguk. Ia meneguk setengah gelas air. Tenggorokannya merasa kering karena terlalu banyak berteriak.
"Alisa, Are you okay?"
Alisa tersenyum sembari mengangguk.
"Kamu kenapa tadi, Hem? Abang khawatir liat kamu kayak gitu." Tangan Randi kembali mengusap kepala Alisa dengan penuh perasaan.
"Alisa gapapa kok bang, tadi cuma kaget aja, makanya teriak hehe." Dalam situasi seperti ini, gadis itu masih saja bisa berbohong.
"Alisa, Abang gak bisa dibohongin kayak gitu, kamu jujur sama Abang, siapa yang nyakitin kamu." Randi menangkup wajah Alisa. Mata mereka saling bertemu, namun Alisa memilih menurunkan pandangannya. Ia tak bisa berbohong jika matanya beradu dengan mata Randi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Departure✓
Teen Fiction[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ⚠️TYPO BERTEBARAN⚠️ ______ Ini kisah tentang seorang gadis yang memiliki seorang tetangga baru yang bersebelahan dengan rumahnya dan kini menjadi kekasihnya. Hubungan keduanya memang mulus, Namun tragedi pembunuh...