Bagian 37

132 12 0
                                    

Happy Reading^^

.

.

"I-ini pasti gak mungkin. Ada yang salah sama testpack nya. Gak! Ini gak mungkin!" Ucap Olivia saat di kamar mandi rumahnya.

Siang tadi, ia membeli testpack di apotik. Ia sempat takut, namun Olivia berusaha memberanikan diri untuk membelinya. Tak mungkin ia memeriksa ke dokter. Apa yang harus ia jawab saat dokter bertanya tentang itu?

Olivia duduk di sudut ruangan kamar mandi. Ia memeluk lututnya. Rasanya ia tak terima dengan kehamilannya ini. Ia memang bodoh. Tak seharusnya gadis itu mengiyakan ajakan dari Ali. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Ali? Tentu saja bukan. Dirinya sendiri yang rugi.

Ia kembali menatap testpack itu dengan gemetar. Garis dua merah itu menandakan kalau Olivia positif. Tak bisa dipungkiri lagi. Jika semua orang mengetahui nya. Maka ia akan di caci-maki para tetangga. Ibunya akan malu. Ia akan dikeluarkan dari sekolah.

Nafsu sesaat dapat merusak kehidupan dari gadis itu. Olivia meremas rambutnya dengan kuat. Sesekali ia tarik. Ia merutuki kebodohannya waktu itu.

Pikirannya dipenuhi dengan kata 'andai'. Andai waktu itu ia menolak ajakan Ali. Andai waktu itu ia tidak pergi bersama Ali. Andai, andai, andai, dan andai.

Semuanya kini hancur lebur. Tak ada lagi harapan dari gadis itu. Ia bodoh. Tidak berguna. Apa yang bisa ia lakukan setelah ini? Menggugurkan nya?

Mata Olivia seketika berbinar. Pikiran kotor itu terlintas di otaknya. Namun tangan gadis itu menampar pipinya sendiri.

"Lo mau ngapain oliv! Lo gila! Lo mau bikin dosa lagi?!"

"Tapi gue harus apa? Apa yang harus gue lakuin? Gue harus cerita ke siapa? Nesa? Gak, dia pasti jauhin gue setelah tau keadaan gue kayak gini. Sedangkan gue sendiri juga rasanya gak kuat buat mendem semuanya. Ini emang kesalahan gue. Gue bodoh! Gue gak punya otak! Gue anak pembawa sial! Hiks,"

"Besok, gue harus nemuin Ali. Gue harus kasih tau dia. Dia udah janji bakalan tanggung jawab kan? Iya, dia pasti tepatin janjinya, harus."

***

"Alisa, Abang kangen," gumam Randi. Setiap malam, sebelum tidur, hal yang dilakukan laki-laki itu adalah menghampiri kamar Alisa. Ia akan menelusuri seluruh isi kamar yang kedap suara itu.

Semua barang milik Alisa masih terjajah rapi di tempatnya. Buku-buku pelajaran, Novel, buku catatan. Semuanya berada pada tempatnya.

Tangan Randi menarik salah satu buku diary Alisa. Yap, buku diary Alisa bukan hanya satu, akan tetapi sangat banyak. Setiap 4 bulan sekali, buku itu harus cepat penuh. Setiap hari, Alisa akan menuliskan semua hal yang telah terjadi padanya. Dari hal-hal kecil, sampai hal besar yang tak bisa diceritakan pada siapapun.

Randi tersenyum melihat isi dari buku itu. Isinya tentang saat Alisa menangis karna Randi mengejeknya. Gadis itu memang sangat polos di mata Randi.

Laki-laki itu menarik nafas pelan. Rasanya baru kemarin ia menghabiskan waktu bersama Alisa. Tapi sekarang, ia sendiri. Menjadi anak tunggal.

"Kamu jangan sedih ya Lis, Abang gapapa kok. Abang pasti bisa lewatin semuanya," gumam laki-laki itu. Perlahan, ia keluar dari kamar itu. Sebelum pergi, ia melirik kembali sekilas isi kamar Alisa. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman paling manis.

Departure✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang