Setelah membuatku lumpuh selama beberapa hari, Willy kembali mengantar jemputku di cafe. Malam itu, langit benderang, lengkap dengan paket taburan bintang di angkasa. Rasa salah masih bersemayam di hati Willy, membuat dia terus melakukan berbagai hal untuk menebus kesalahannya. Karena tak ada film yang menarik malam itu, ia lalu mengajakku melihat pasar malam di tengah kota.
Setelah memakirkan motor, aku mengajak Willy mampir di salah satu tempat makan lesehan. Saat Willy memesan makan dan minum, aku sengaja memilih tempat duduk yang paling jauh dan sepi dari warung itu. Tak lama kemudian ia datang dengan sepiring sate dan gorengan yang baru saja di bakar, beberapa bungkus nasi dan es yang dibawa mas-mas dibelakangnya.
“Wes sue yo Bell awak dewe ra mangan lesehan nek pinggir dalan ngene,”
“Iyo Will, wes sue banget koyone. Padahal aku seneng lho mangan nek pinggir dalan ngene. Sensasine juara banget!”
Usai membuat makanan di depan kami tandas, aku mulai sesi khusus untuk malam itu.
“Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” kataku pelan sambil menyentuh punggung tangannya sebentar.
“Ngomong opo?” tanyanya dengan ekspresi serius.
“Aku mau jelasin perkara yang kemarin itu,”
“Okey, coba jelasin semuanya,”
“Yang pertama, aku baik-baik aja, okey?. Kamu nggak usah merasa bersalah kaya gitu. Kemarin itu bukan salah kamu kok, emang akunya aja yang lagi dalam posisi rapuh. Kamu sama sekali nggak punya salah sama aku. Malam itu nggak tahu kenapa batinku lagi kacau aja, aku ngerasa hampa sama banyak hal. Aku ngerasa capek, lelah, enek. Tapi anehnya aku nggak tahu kenapa ngerasain hal itu. Dari dulu memang ada hal-hal sensitif yang nggak bisa orang bahas sembarangan sama aku. Yaitu tentang masalalu, agama, dan keluargaku. Aku masih nggak bisa nahan emosi kalau dihadapkan sama ketiga hal itu. Butuh keadaan yang sanggat setabil kalau mau bahas ketiga hal itu sama aku.”
“Sebelumnya aku juga mau minta maaf sama kamu Bell tentang malam itu. Maaf kalau aku lancang sama kamu. Aku ngomong kaya gitu juga karena aku nggak bisa ngontrol diriku buat nunggu kamu cerita semua kisahmu sebelum sama aku,” ucap Willy membuat hatiku bergidik ngeri, ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga, “maafin aku kalau terlalu egois pengin tahu semuanya tentang kamu,”
“Sekali lagi ya Will, kamu nggak salah apapun. emang aku aja yang terlalu sensitif malam itu. Makanya jadi nggak enak, maaf juga kalau setelah beberapa bulan kita jalin hubungan, aku belum cerita banyak tentang masalaluku. Demi tuhan kadang aku sama sekali nggak kuat buat nginget-inget luka itu. Mungkin aku butuh waktu yang lebih lama lagi buat cerita semuanya sama kamu. Tapi yang jelas bukan sekarang ya Will,”
“Aku bakal nunggu sampai kamu siap cerita semuanya sama aku Bell, semuanya dengan lengkap, jujur dan apa adanya,”
“Aku janji bakal cerita semuanya sama kamu Will,”
“Yaudah yuk, kita samperin pasar malam itu!”
. . . . # # # . . . ...
Melihat sorot lampu warna-warni penusuk mata, kerumunan orang hingar bingar dan tubrukan berbagai macam aliran musik, membuat hatiku cerah mendadak. Seperti barusaja disiram berbagai macam kebahagiaan. Sebelum memasuki kawasan pasar malam tadi, Willy menyempatkan diri untuk membelikanku sepasang arum manis berwarna hijau terang dan merah muda. Hanya karena hal kecil itu, hatiku senang bukan kepayang, ia pintar mengambil hatiku dan membuatku bahagia.
Senyum kembali terulas di wajah tampan Willy, senyum iklas bercampur tatapan nakal yang membuatku sedikit merasa bersalah karena telah membuatnya hawatir selama beberapa hari. Usai menyalakan rokok dan mengepulkan asapnya beberapa kali, ia merangkulku yang sedang sibuk melahap arum manis berwarna merah jambu. Ia selalu seperti itu, menjagaku agar tak jauh-jauh dari dirinya.