Pagi menjelang dan aku masih tetap tak bisa memejamkan mata, dia masih membayang. Sayup adzan menggema dan kuputuskan untuk menengak pil tidur untuk membuatku terlelap. Bahkan di dalam mimpipun, aku masih terdera rasa sakit.
“Will, kamu bajingan,” rutukku pelan dengan air mata yang mulai berjatuhan, rasa rindu mendalam dan benci yang mulai menggumpal menjadi pengantar tidurku dini hari itu.
Saat sore menjelang dan matahari tertutup awan, aku terbangun dengan sisa-sisa air mata yang belum kering benar. Entah sampai kapan aku terbangun dengan perasaan hampa yang menyakitkan. Tubuhku lunglai dan aku tak mau melakukan apa-apa. Semangatku tandas tanpa sisa, dan aku hanya ingin sendiri.
Kuminum vodca sisa mabuk semalam sebelum akhirnya menyulut rokok dan mulai beranjak dari ranjang, memunguti baju-baju kotor yang berserakan di lantai kamar sebelum akhirnya aku semayamkan di samping mesin cuci. Kurapikan ruang tengah tempat aku dan anak-anak mabuk semalam, kubuang bungkus makanan ringan dan abu rokok yang menggunung ke dalam tempat sampah. Membuka semua pintu dan jendela agar sirkulasi udara berjalan lancar.
Kulucuti semua pakaian di tubuhku sebelum akirnya kutenggelamkan diri di bawah kucuran air dingin yang menghujam. Kenangan tentangnya berkelebat, kutahan kuat-kuat kelopak mataku yang memanas agar tak lagi menumpahkan air mata. Asu! Bangsat! Keparat!, makiku pada diri sendiri, plis, jangan begini, aku mohon, pintaku pada sepi.
Sesuatu membumbung dari dalam diriku, naik ke tengorokan, membuatku tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Tubuhku mengigil dan punggung tanganku tak lagi mampu menghapus air mata yang berpadu dengan dinginnya air yang menerjang tubuhku.
Lemas, aku tak lagi mampu bertahan. Tubuhku tergelincir, terpuruk di atas ubin kamar mandi. Aku merasa sangat lemah, caci maki terus terlontar di dalam diriku. Menyumpahi diriku yang tak mampu menahan dera. Will, jangn begini, pintaku lagi dengan suara mengambang, pedih menghajarku saat kudengar suaraku sendiri, aku mohon.
Matahari terbenam saat aku kembali melipat tubuhku di bawah selimut. Sebutir obat tidur kembali bermigrasi ke dalam tubuhku, membuatku terlelap lagi saat kuhitung waktu yang berdetak.
“Tangi Bell,” kata Andi memaksa, menarik tubuhku dari tumpukan bantal dibawah selimut, ”mangan sek,”
Kubuka setengah kelopak mataku, menatap bubur ayam terpuruk di dalam mangkok bening, bersama segelas air putih di atas nampan. Andi duduk di ujung ranjang, memainkan game di tablet dan sesekali menyesap batangan rokok di depannya.
Satu suapan, dua suapan, tiga suapan dan berhenti di suapan kelima saat aku tak lagi mampu memaksa tenggorokanku lagi menelan bubur itu.
“Dulu pas kamu di usir dari rumah, kamu nggak sampai segininya lho,” kata Andi sebelum mengusir mangkok berisi bubur dari hadapanku. Kutengak air putih di dalam gelas dan kembali kutengelamkan diri dalam tumpukan bantal dan selimut tebal. Meninggalkan Andi dalam keheningan.
Kembali kuhabiskan malam dengan obat tidur, tanpa butiran pil itu, aku tak mampu terlelap. Seringkali aku terbangun dengan bercak air mata, hampa yang merangsek di dalam dada dan perasaan di pecundangi sang punya hidup. Saat beranjak dari tempat tidur, kenangan tentangnya selalu berkelebat dan kembali menyiksaku. Membuatku merintih sambil memangil namanya.
Aku mengingatnya di setiap sudut rumahku, saat kita bercinta di atas meja makan, melihat hujan halaman depan rumah, menikmati senja di balkon belakang. Saling menelanjangi diri di kamar mandi, berpankuan di depan televisi. Semua tempat seakan-akan berkompromi untuk mengingatkanku tentang kehadirannya yang kini tak lagi bisa ku genggam.
Saat aku menuruni anakan tangga aku terpuruk, aku tak lagi kuat dengan kenangan yang begitu menyesakkan dada. Aku masih ingat saat kami seharian telanjang keliling rumah dan bercinta dimana-mana karena desakan nafsu perayaan hari jadi yang terlampau mengebu-gebu untuk segera di tuntaskan.
Angin yang menyapu kulitku saat daun jendela kubukapun melemparkan ingatanku saat aku berkunjung kerumahnya pertama kali dan beberapa potong kenangan kami saat menandaskan waktu di pantai. Senja yang biasanya kuhikmati, sekarang berubah menjadi kelabu karena suasana hatiku. Setelah waktu berlalu beberapa saat, hatiku masih terpaut dengannya. Kucoba untuk sekedar keluar dengan teman-teman dari akun Facebookku, tapi itu tak merubah banyak. Ada beberapa orang yang menarik, tapi aku telah jatuh cinta habis-habisan dengan seseorang. Aku tak lagi punya cinta untuk sosok yang baru.
Hidupku hampa, hampa yang menyiksa. Saat sendiri, tak terasa air mata jatuh perlahan. Saat berjalan-jalan aku malah menapak tilas semua tempat yang sering kita kunjungi, saat ke bioskop, sengaja aku pilih film penguras air mata sebagai kambing hitam agar bisa kusalahkan kenapa lagi-lagi aku menangis. Bahkan, saat ke gramedia, sengaja kupilih pojokan untuk membaca banyak-banyak buku yang membuat mataku kembali tersembur asap pemicu air mata.
Aku akan misuh-misuh tak karuan jika mataku bengkak dan perih karena tak dapat menangis lagi, selalu ada kesedihan yang membayangiku kemanapun aku pergi. Aku benci itu tapi aku tak mau memisahkan diriku dari hal itu, karena dari kesedihan inilah aku sadar jika Willy itu nyata. Karena kesedihan inilah aku yakin dia pernah ada dan akan selalu ada. Walaupun kini tak lagi bisa kuraba.
Pagi hari, sisa-sisa air mata kering menjadi saksi dera alam mimpiku. Bahkan setelah dua bulan berjalan aku masih tetap melihatnya di banyak tempat, mengiriminya pesan singkat, email bahkan surat yang sengaja aku titipkan untuk temannya yang sekarang menjaga distronya. Saat aku bertanya tentang keberadaan Willy, teman-temannya kompak menjawab tidak tahu, ia tak bertemu dengan Willy beberapa bulan ini. Aku benci dengan keadaanku sendiri, tapi aku kehilangan arah tanpa dia disisiku.
Seminggu sekali sengaja aku lewatkan motorku ke depan jalan rumahnya, berharap-harap dia muncul dan akan aku sergap. Tapi, dia tak pernah muncul. Bahkan saat aku nekat ke rumahnya dan bertanya langsung dengan ibunya, aku tak pernah pulang dengan jawaban memuaskan.
Nomor Willy lebih dari tiga bulan tak aktif, tapi hampir sehari sekali aku terus menelfonnya dan terus mengiriminya pesan singkat tentang keadaanku sekarang, berharap-harap dia akan mengerti keadaanku sekarang dan akan kembali kepadaku.
Alkohol dan puntung rokok tak pernah lepas dari tangaku, aku lebih butuh alkohol daripada air putih. Malam hari aku berkeliaran di sekitar Solo, mengitari jalanan tempat kita sering memacu motor dengan kecepatan rendah dan berbicara tentang apapun. Tapi sekarang hal itu hanya jadi kenangan yang terus aku pertahankan, malam murung saat aku tiba-tiba mencari gara-gara dengan orang di pingir jalan, aku babak belur karena memang aku tak bisa melindungi diriku sendiri.
Esoknya Andi memarahiku habis-habisan tentang kecerobohanku kemarin malam, bertanya-tanya kenapa aku bisa sebodoh itu, tapi aku jawab semuanya dengan singkat, “karena aku ingin Willy datang membantuku,”
“Willy bukan superhero Bell,” katanya geram, “dia nggak bisa ngelakuin itu!”
Aku hanya diam, setidaknya rasa sakit yang hinggap di tubuhku bisa mengalihkan pikiranku yang terus berpusat dengan Willy. Tiga hari kemudian aku datang ke tempat tatto dan menatto dada kiriku dengan namanya. Aku ingin mengenangnya seumur hidupku. Begitu berarti dia untukku.
Satu kali aku mengobrak-abrik tempat dugam di Solo untuk mencari Sandra, lalu menyeretnya ke luar. Ia yang paham kalutnya aku langsung memelukku lama, membuat mataku berkaca-kaca.
“San, aku mohon, aku pengin ketemu sama Willy,” pintaku memelas, “aku nggak mau kita berakhir kaya gini,”
Tapi Sandra malah menggeleng pelan, manatapku penuh iba, membuatku jengkel dan memicu emosiku memuncak, “Maafin aku Bell, aku nggak bisa bantu kamu. Ini buat kebaikan kalian berdua,”
“Kebaikan kita berdua?” tanyaku sangsi, emosiku mengelak, “apa kamu sekarang lihat aku baik-baik saja?” tambahku muak, “AKU NGGAK BAIK-BAIK SAJA SAN! Aku nggak baik-baik saja tanpa Willy,” kataku sambil mengusap air mata yang kembali meluncur tanpa bisa dikendalikan. Lalu aku meraung bagai binatang kesakitan, terpuruk di hadapannya, “please San, bantu aku, aku butuh dia,” kurasakan hancur yang semakin dalam.
“Maafin aku Bell,” ucapnya lembut sambil memelukku, “Aku nggak bisa bantu kamu Bell, kata Willy kamu itu orang kuat, kamu pasti bisa ngelewatin ini semua,”
Kutatap Sandra sengit sebelum meninggalkannya di parkiran. Aku pergi dengan luka berkali lipat. Sandra tahu, dia tahu dimana Willy tapi tak memberi tahuku. Aku merasa di pecundangi orang-orang yang aku percayai.