Ada yang berbeda dengan wajah minggu pagi itu, entah karena apa kita berdua sama-sama terbangun menjelang subuh, saat pagi menguarkan udara yang membuat tubuh mengigil. Satu dua kali angin bertiup, mengecap kulit kami dengan sentuhan udara yang membuat bulu kuduk berdiri. Setelah bangun, Willy langsung beranjak ke almari, mencari baju untuk melapisi tubuhnya dari dinginnya udara subuh itu.
Saat kubuka daun jendela dapurku, udara pagi langsung menyeruak, mengetuk-ngetuk lubang hidungku. Kuhirup udara pagi itu dengan serakah, sekedar membuat rongga dadaku merekah dengan kenikmatan udara yang tersaji pagi itu. Sebagian langit masih tertumpuk awan hitam, tapi kebanyakan sudah tergerus habis, sebentar lagi cakrawala menutup malam.
Usai mencuci muka, mengosok gigi, mencuci piring dan gelas lalu menyampu lantai, kuhamburkan tubuhku ke halaman depan rumah, tanpa alas kaki, kusapa alam.Membisiki tanaman, menyapa kembang yang aku tanam. Kusibak lagi telapak kakiku menyusuri rumput tempat embun pagi bersemayam, kuhayati benar sensasi saat embun-embun pagi itu menyentuh jai-jari kakiku. Usai menyirami tanaman dihalaman, kutanggalkan ranting dan daun-daun layu dan aku semayamkan di tempat sampah.
Kunikmati lagi aroma pagi itu, sisa-sisa kabut masih memenuhi sekat-sekat udara dingin yang menguarkan hawa sejuk dan segar yang terlampau kuat untuk diabaikan. Ah, nikmatnya. Jauh di batas langit, garis-garis cahaya matahari mulai menembus awan, perlahan menandaskan malam yang tak lagi kuasa menebarkan jaring-jaring kelam.
Dengan membawa dua buah cangkir berisi kopi hangat, Willy menghampiriku memakai kaus polos tanpa lengan dan boxer tipis berwarna biru kelam. Ia lalu duduk diatas ujung keramik yang menjadi tapal batas antara teras dan halaman rumah, menyiksa pantatnya meresapi dinginnya udara yang tersimpan di dalam ubin berwarna abu-abu, “Berrr... ademe ra nguati,” katanya dengan nada jenaka, “aku buatin kopi spesial nih buat kamu. Dua sendok kopi, satu gula, nol krimmer,”
“Lho kok nggak tiga kopi, satu gula, nol krimmer?” protesku.
“Sekali-kali beda nggak masalah, buat semesta yang berani tampil beda pagi hari ini,” jelasnya kusetujui dengan anggukan pelan.
Kuhirup aroma kopi buatan Willy sebelum akhirnya kuseruput pelan, lidahku berkecap-kecap karena sensasi rasa yang nikmat sebelum akhirnya kusiramkan kopi hangat itu ke dasar lambung, “Tumben banget ya, kita bisa bangun pagi barengan gini,”
“Ya kalau hawanya nggak sedingin ini juga nggak bakal bangun lagi,” sahut Willy ringan, menyulut batang rokok sambil sesekali menyesap cangkir kopi di sampingnya, “semprul tenan kok, ngasi ndrodok awaku mau,”
“Tapi dinginnya seger banget Will,” jawabku sambil mengulas senyum untuknya, memainkan telapak kakiku diantara rumput jepang yang tebal, “sejuk gitu rasanya,”
“Gimana nggak sejuk? Orang kamu jalan ke taman nggak pakai sendal. Deloken wae nak ngko koe midak tai kucing,” jawab Willy sengaja membuatku jengkel.
“Aku mau jawab semua pertanyaanmu,” ucapku pelan menyedot habis perhatian Willy, “satu-persatu secara detail,” aku tahu kalau dia sudah lama menunggu saat-saat ini.
Dengan sorot mata tak percaya Willy menatapku, “Jangan bilang gara-gara kamu ngerasa aneh pagi ini terus kamu ikut-ikutan bertingkah aneh kaya gini?”
“Ya enggaklah Will, nggak sesimpel itu juga kali pemikiranku,” jawabku serius, “tapi kadang emang sesimpel itu juga sih pemikiranku,” tambahku dengan senyuman maut.
“Lha terus?”
“Ya karena aku udah lama mikirin ini semua,” jawabku mantap, “mungkin ini saatnya aku cerita semuanya sama kamu,”