2

43.6K 186 9
                                    

Akan kuceritakan bagaimana seseorang itu bisa memutar balik tingkat kewarasanku, dan aku hanya bisa menerimanya dengan apa adanya. Lelaki itu bernama Willy Putranda. Tampan bagai malaikat pencabut nyawa dan berbahaya bagai setan penunggu neraka. Dan anehnya, detik pertama dia menelisik hidupku, detik berikutnya dia menjadi pusat kehidupanku.
Willy selalu bertingkah sesuka hati. Ia orang bebas, ia tak peduli dengan sekitar. Ia tak peduli jika dia tampan. Ia tak peduli dengan pesonanya. Saat dia berjalan, seolah-olah ia melengang sendirian di muka bumi. Satu hal yang benar-benar ia pedulikan adalah keluarga dan orang-orang yang ia kasihi. Dan mungkin karena itulah dia begitu menakjubkan dimataku. Karena ia mengasihiku dengan melimpah-ruah.
Willy biasa datang kerumahku tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Delapan bulan kita menjalin hubungan, dia aku buatkan kunci duplikat rumahku. Willy hidup di dua dunia. Di siang hari ia menjaga distro yang ia dirikan bersama dua sahabatnya di daerah Manahan dan di malam hari ia menjadi bartender.
Sayup-sayup saat adzan subuh mulai membaui udara, pintu kamarku terbuka. Ia muncul menghampiriku. Meringkuk, memelukku dari belakang. Mengecup tengkukku hingga bulu kudukku berdiri dan menikmati kehangatan dibawah rongga selimut tebalku.
Aroma alkohol membungkus tubuhnya saat hadir dibelakang tubuhku. Dengan sapuan bibir tipisnya tepat dileher kananku, ia mulai melempar bola nafsu kepadaku. Perlahan menjemput kesadaranku yang belum datang sepenuhnya. Sapuan lidahnya mulai membaluri leherku dengan liur, lalu berpindah kebelakang telingaku. Membuat daun telingaku siaga dengan bunyi kecipak tak karuan dan tubuhku kelonjotan penuh kenikmatan.
Kubalik tubuhku dan mendapatinya dalam keadaan telanjang bulat. Ia peluk erat tubuhku sebelum menciumku dengan kasar. Aroma rokok dan alkohol bercampur di bibirnya. Rasa hangat saat kulit kami bersentuhanlah yang akhirnya meluluhkanku dalam balutan nafsu. Satu persatu pakaianku mulai ia preteli perlahan. Alkohol membakarnya dengan penuh gelora, ciuman yang tadi memagut bibirku dengan cepat berpindah tempat. Mulai dari belakang telinga, leher, dada hingga putingku ia mainkan sepuasnya.
Ia sibak selimut yang mengbungkus tubuh kami berdua, ia angkat tubuhku dengan mudah. Sekarang aku duduk diatas perutnya, melakukan hal yang sama kepadanya. Kita berhenti saat sinar matahari begitu menyilaukan saat menembus kaca jendela kamarku yang polos tanpa asiran trali besi.
. . . . # # # . . . ...
Kami tahu jika yang kami lakukan selama empat tahun terakhir ini salah, melenceng dan penuh lumuran dosa. Tapi atas nama cinta. Kami rela berkumpul dengan Sodom dan Gomora kelak di neraka.
Namaku Abell Jerolin, yang berarti nafas suci tau nafas kesucian dari ilahi, jika diartikan dengan istilah rohani. Aku menganggap diriku sebagai pemain baru di dunia abu-abu, dan Willy selalu aku anggap sebagai pemain utama dan satu-satunya dalam drama kehidupan menyimpang kami. Kadang aku merangkap sebagai pemain cadangan dalam beberapa episodenya, tapi tetap dia yang memegang kendali cerita.
Perlu kutegaskan jika dunia abu-abu ini adalah sebuah dunia yang tak akan pernah disetujui, bahkan dilirik dalam hitungan detik di negara ini. Dunia abu-abu yang menjerat habis diriku dan tak bisa aku hindari ini bernama homoseksual.
Nama yang diberikan orang tua biasanya diibaratkan sebagai doa, tapi itu tak berarti untuk spesies kami yang memang sarat dengan kutukan. Khandidat-khandidat kuat penghuni neraka. Butir-butir manusia yang diternakan oleh dosa agar kelak bahagia di neraka.
Di dalam dunia abu-abu ini, kami bermain dalam sebuah opera. Dimana kami dipaksa keadaan untuk berakting normal layaknya manusia kebanyakan yang dianggap waras atau normal, walaupun tak ada standar pasti untuk menjadi waras dan normal seperti yang kebanyakan masyarakat katakan.
Hanya segelintir orang saja yang mampu memproklamirkan jati dirinya yang berbuntut dengan pengucilan dan pengasingan lingkungan yang mereka bilang "beradab". Berawal dari hal itulah, dan tekanan hebat dari lingkungan "beradab", kami mulai bermain dalam opera sabun berjudul: kemunafikan.
Kadang kala aku berfikir, cara lingkungan beradab dan orang-orang waras dan normal memerlakukan kami adalah cerminan dari kesempitan berfikir dan sedikitnya orang-orang berfikiran terbuka yang menerima apapun tanpa embel-embel apapun juga.
Perkenalanku dengan Willy dimulai dari sebuah jejaring sosial yang sedang booming pada saat itu, Willy dengan profil sederhananya memukauku dengan wajah rupawan berbalut kaca mata bening bergradasi biru laut. Entah apa yang membuatnya begitu menarik, tapi dia nampak begitu memukau diantara kuil dan kebun teh yang menjadi latar belakang fotonya.
Berada di grup dunia abu-abu kota Solo yang sama, membuatku sering mengintai profilnya diam-diam, atau sekedar mengagumi fotonya satu-persatu. Menyukai setiap statusnya, up-date fotonya ataupun catatannya yang lebih banyak berisi potongan lirik lagu.
Simsalabim abra kadabra. Belum sempat aku selesai membaca status barunya yang muncul di dinding pemberitahuanku, dia mengirimiku pesan, dan kamipun mulai saling berbalas. Kurang lebih lima bulan setelah kita berbalas pesan secara intens di media sosial, kami akhirnya saling bertukar nomor handphone sehingga dapat saling menghubungi kapan saja.
Hubungan kami perlahan mulai naik kelas, kami yang biasanya hanya bertukar pesan di media sosial pada saat-saat tertentu kini mulai saling berbagi remah kehidupan kami. Entah itu peting atau tidak penting, tapi ada perasaan yang mendorong kami untuk selalu membagikan apa yang kami alami saat itu satu sama lain.
Hampir satu tahun lebih kami menjalin hubungan tak bernama ini, setiap hari Willy selalu mengajakku ketemuan, tetapi selalu aku tolak. Tapi bukan Willy namanya jika dia mudah jera. Seperti sebuah ritual, setiap malam sebelum kami saling menutup hari masin-masing, ia akan mengirimkan satu pesan atau lewat telefon untuk mengajak bertemu. Kadang, jika suasana hatiku sedang buruk langsung aku tolak permiantaan itu. Tapi, kalau malam itu suasana hatiku sedang baik, akan aku iyakan permintaan itu walau entah itu kapan.
Bukan maksutku untuk memberinya harapan palsu, aku hanya merasa memang belum saatnya untuk kita bertemu. Walaupun kami saling tahu tempat kerja masing-masing, dan sangat mudah untuknya jika mau langsung menemuiku di tempat kerja. Tapi kami tahu batas. Sejak awal kita mulai menjalin komunikasi, dia tahu jika aku tak ingin mencampur adukkan antara dunia nyata dan dunia maya, walau kadang batas keduanya semakin lama semakin saru.
Cara Willy menghargai pendapatku kurang lebih selama satu tahun inilah yang semakin lama semakin membuatku kagum dan memperkeruh pertentangan batinku sendiri. Aku yang selalu memegang teguh prinsip hidupku, akhirnya harus lumpuh dihadapannya. Perasaanku terhadapnyalah yang akhirnya meruntuhkan sistem pertahananku. Membuatku terbujuk rayu untuk bertemu dengannya. Titik awal kehidupanku nyataku bersama dia.
. . . . # # # . . . ...
Beberapa bulan setelah kami resmi menjalin hubungan, dia mulai sering datang ke rumahku, menginap dan menuntaskan dahaga kami akan rasa rindu yang begitu menggebu. Dengan kesibukan kami masing-masing, kami memang hanya bisa bertemu kurang lebih dua tiga kali setiap minggu, itupun hanya pertemuan singkat saja.
Sejak awal berhubungan, aku dan Willy memang berbicara blak-blakan tentang apa yang kita impikan dan target-target apa yang harus kita penuhi setiap tahun. Beruntung kami memiliki bisnis masing-masing sehingga lebih mudah untuk kami berdua saling memahami dunia tempat kami berkembang. Visi dan misi masing-masinglah yang membuat kami terus bertahan, sebisa mungkin menjalin hubungan yang positif tanpa saling menjajah satu sama lain.
Semakin dalam aku terjerumus masuk dalam dunia abu-abu ini, semakin dalam pula kami memahami batas-batas yang tak boleh kami lewati. Diluar rumah, kami seksama memperlihatkan hubungan kakak-adik kepada masyarakat sekitar. Baru saat di dalam rumahlah, kami menjadi manusia apa adanya. Tanpa tedeng aling-aling apapun. Tanpa alibi. Tanpa kebohongan. Tanpa kemunafikan.
Kadang, pada saat asmara kami sedang berada di puncak. Aku selalu berharap jika kami berdua bisa tampil apa adanya di hadapan masyarakat banyak. Bergandengan tangan saat mengantri tiket bioskop. Bermesraan di taman kota. Berjalan-jalan di pusat perbelanjaan sambil berpelukan. Dan beragam hal remeh yang setiap pasangan lakukan tetapi tidak bisa kami lakukan.
Walaupun aku telah dibuang keluargaku dan membuang diri dari agamaku, ternyata aku tak sepenuhnya merasakan kebebasan yang aku idam-idamkan. Terlahir sebagai homoseksual membuatku merasakan banyak jerat yang terbelit di kakiku dan penjara yang hadir di banyak pandangan mataku. Membuatku merasa terkutuk, terbuang dan menjalani hidup penuh kemunafikan. Selalu petak umpet dengan kehidupan, dan bermain-main di ambang batas moralitas.
Sering aku menatap miris kehidupanku sekarang. Tapi jauh di dalam hatiku, ada satu hal yang selalu aku yakini. Tak ada yang benar-benar tahu kanal hidup akan membawa kita berlabuh dimana. Satu-satunya yang pasti di dalam hidup ini hanya ketidak pastian, dan ketidakpastian hiduplah yang pada akhirnya membuatku antusias dalam menjalani kehidupan. Menunggu-nunggu kejutan apa yang akan hidup hadirkan padaku.
Sebagai pelengkap kehidupan tabuku, raga dan jiwakupun terasing dalam pelukan cinta kasih tuhan. Jiwaku kosong. Kering kerontang ibarat tanah tandus yang tak bisa lagi diselamatkan dengan berbagai cara ampuh penanggulangan. Sejak dulu memang aku percaya tuhan, tapi aku tak pernah menyukai aturan-aturan keagamaan. Bagiku, ritual keagamaan hanyalah sarana pemenuhan kebutuhan emosional manusia semata. Ritual-ritual keagamaan dibuat untuk sekedar menutupi peristiwa-peristiwa yang tak bisa kita uraikan dengan rasional.
Karena hal inilah aku berada di koridor lain di dalam keluargaku. Mereka mengatakan aku sesat, musrik, atheis, tanpa benar-benar tahu apa yang membuatku memilih jalan ini dan membantuku mencari jalan selain ini. Terlalu banyak memang orang di Indonesia yang gemar membuat stempel dan menyetempel jidat orang lain dengan sebuah status. Entah itu benar atau tidak. Masyarakat ini, terlalu haus untuk sebuah objek kesalahan. Mereka butuh kambing hitam untuk sebuah media pelampiasan atas banyaknya masalah yang tak bisa mereka selesaikan dengan baik. Masalah yang membuat otak sempit mereka gelagepan akan banyak hal.
Bahkan, ketika satu orang mulai memberikan stempel itu dan mengecapnya di jidat orang. Orang-orang lain akan berduyun-duyun, bahkan berbondong-bondong memberikan cap yang sama tanpa tahu benar apa yang sedan mereka lakukan. Tak pernah memverifikasi suatu berita, suka mem bully, hobby menghujat orang lain dengan kata-kata kasar tanpa moral yang sring mereka agung-agungkan dan begitu menikmati penderitaan orang lain tanpa pernah melihat satu peristiwa dengan banyak sudut pandang.
Melalui banyak penolakan dan penyudutan dari keluarga dan ligkungan sekitar, aku mulai mengumpulkan kekuatan perlahan. Kuterima dengan iklas setiap umpatan dan penolakan lingkungan menjadi tumpuan yang pada akhirnya menopang kehidupanku sekarang. Membuatku menentukan titik awal perubahanku. Titik tolak hidupku.
. . . . # # # . . . ...
Saat tak lagi ada tempat untukku berpijak dan berkeluh kesah terhadap banyak hal, saat keluarga tak lagi memiliki peran sebagaimana mestinya, saat aku tak lagi memiliki tiang untuk bertahan terhadap banyak guncangan dan tak ada agama yang benar-benar bisa merengkuhku dengan kasih sayang. Aku tiba di posisi tak lagi takut dosa.
Tak ada lagi blok benar atau salah. Hanya ada sikap pemberani atau pengecut. Jika memang pada akhirnya nanti aku akan bersemayam di neraka, maka biarkanlah aku disini mengais bahagia. Terbakar antara duka mencinta dan bahagia terdera.
Sejak sekolah menengah pertama, aku sudah merasakan hal yang tak biasa di dalam diriku. Di saat hawa pubertas meletup-letupun aku sama sekali tak menemukan ketertarikan dengan teman-teman perempuan disekitarku. Malahan aku merasakan desiran-desiran tak tentu dengan teman-teman lelakiku. Ada dorongan hasrat tak tentu yang membuatku ingin terus bersama mereka. Secara intens dan intim. Bahkan saat menonton film biru bersama mereka dulu, yang kuperhatikan malah ekspresi kenikmatan pemain laki-laki dan berharap jika pemain itu melakukannya kepadaku.
Lama aku menolak jati diriku ini. Lama aku menyangkalnya. Tapi, pada akhirnya, aku lelah untuk melawan itu semua. Melawan diriku sendiri. Aku tak lagi nyaman berada dalam tubuhku sendiri. Dalam posisi bingung, serba tersudut dan tak bisa menguraikan masalah secara jelaslah yang membuatku mulai megutuk banyak hal. Mencari kambing hitam. Titik untuk disalahkan.
Lalu aku mulai menyalahkan Tuhan, karena dia telah menjadikanku seperti ini. Hidup dalam tekanan, terpenjara karena orientasi yang dipandang menyimpang oleh kebanyakan orang. Menjadikanku orang bermulut frontal yang selalu menanyakan ritual-ritual keagamaan dan beragam hal-hal tabu yang anggap saru untuk didiskusikan.
Lalu aku mulai menyalahkan Agama, karena tak memberikan toleransi terhadap orang-orang seperti ini. Mencitrakan kenegatifan kaum Sodom dan Gomora yang mau dilihat dari sudut pandang manapun adalah golongan berlumur dosa yang kelak berujung siksa di neraka.
Lalu aku menyalahkan lingkungan yang sok membuat aturan-aturan keras dan kejam untuk orang-orang seperti kami. Sulit menerima hal-hal yang baru ataupun tabu. Selalu berfikiran sempit. tak pernah berfikiran terbuka sedikitpun terhadap hal-hal yang telah mereka kotak-kotakkan antara benar dan salah. Miskin toleransi dan menganggap kaum LGBT adalah kaum pengumbar libido semata, tak pernah menganggapnya sebagai sesama manusia.
Lalu aku menyalahkan guru-guruku yang tak pernah mengajariku mengenal diri sendiri dan malahan terus menyuapiku dengan ilmu-ilmu tak penting. Ilmu-ilmu dasar yang hanya berhenti di dasar tanpa ada kajian yang lebih dalam. Selalu memposisikan diri sebagai hakim yang selalu benar, buku pelajaran itu benar, ilmu yang mereka jabarkan tak pernah salah, dan mengkotak-kotakan banyak hal dalam koridor benar dan salah. Tanpa pernah menyuruh kami untuk mencari bahan diluar koridor orde baru mereka. Tidak mengajarkan berfikiran kritis, berdebat ataupun saling mengkoreksi. Guru-guru yang selalu mengangap muridnya bodoh dan terus menyuapi materi tentang hal-hal yang membuat otak semakin tumpul.
Lalu aku menyalahkan keluargaku yang tak pernah mengajariku menjadi diri sendiri. Selalu mencekokiku berbagai kegiatan dan les-les yang mereka inginkan tetapi tak aku butuhkan. Menganggapu sebagai patun lilin yang bisa mereka bentuk sesuka hati tanpa memperdulikan jika aku punya hati. Menasbihkanku sebuah agama sebagai identitas tapi menolak pertanyaan-pertanyaan klasik kenapa? bagaimana? kok bisa? caranya? Dan berharap aku langsung menelan bulat-bulat tanpa adanya proses penerimaan.
Karena beragam hal, hati dan diriku berada di posisi tak lagi dapat menyangkal apa yang telah bersemayam di dalam tubuhku ini. Sejak itu, aku hidup tak takut dosa dan tak lagi peduli agama. Kurengguk kebebasan yang aku idam-idamkan. Aku merdeka.
Tak ada yang aku sesali, mulai kunikmati hidup di jalan ini. Sejak aku perlahan menerima jika aku terlahir menyimpang dengan orientasi yang menurut mereka salah. Aku tak lagi peduli dengan apa yang orang banyak katakan. Bagiku, tak ada yang salah dengan diriku. Aku indah dijalanku dan aku percaya jika tuhan tak akan menciptakan manusia dengan kesalahan. Jika dia ingin aku menjadi orang baik-baik, dia pasti akan menciptakanku menjadi orang baik-baik sejak dulu.
Aku juga percaya, jika aku berada di jalur yang benar. Karena pada saat aku mencintai diriku sendiri dan nyaman karena pilihanku, hidupku terasa begitu nikmat dan hebat. Aku bahagia dan itu lebih dari cukup. Setelah sekuat tenaga menyangkal, akhirnya aku berhenti dalam fase menerima. Tak butuh waktu lama untukku kemudian mulai merasa bangga terlahir dijalan seperti ini. Pemberian ini. Bawaan sejak lahir ini. Aku mensyukurinya.
Aku memilih untuk hidup nyaman dengan diriku sendiri. Daripada terus hidup terkekang di bawah tekanan keluarga, lingkungan dan agama yang membuatku terus gelisah.
Tepat setelah itulah Willy datang dalam wujud malaikat di kehidupan abu-abuku. Beberapa bulan setelah aku mengungkapkan secara jujur jati diriku kepada kedua orang tuaku. Aku resmi mereka buang setelah ikrar itu terucap.
Aku bebas. Tak lagi terbelenggu keluarga. Aku merdeka. Tak lagi terjerat jaring agama. Dan aku bahagia, menjadi calon penghuni neraka.
Bersambung...

Abel & WillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang