. . . . # # # . . . ...
“Will, besok aku sama anak-anak Reve mau ke panti asuhan, kamu mau ikut nggak?”
“Dalam rangka apa emangnya?”
“Hari ulang tahunnya Reve,”
“Lho? Bukannya kemarin udah dirayain dua hari berturut-turut di cafe ya? Mau di rayain lagi emangnya?”
“Kalau yang besok khusus pas tanggalnya, kemarin kan acaranya sengaja di majuin pas weekend biar meriah aja,”
“Wah kalau gitu mendingan aku nggak usah ikut deh Bell, soalnya kayaknya acara ulang tahun itu personal banget buat kalian semua. Kalian yang bangun Reve bersama-sama, sekali-kali kalian nikmatin deh ngabisin waktu bareng-bareng kaya gitu,”
“Kalau sekedar ngabisisn waktu sih kita sering hangout atau nonton bareng Will,”
“Tapikan itu hari sakral buat kalian semua, jadi aku sebagai orang luar nyumbang doa biar meriah dan bermakna deh acaranya,”
“Makasih sebelumnya Will, buat doanya. Beneran kamu nggak mau ikut?”
“Nggak Bell, have fun ya,”
“Oke deh sayang, makasih ya,”
Seperti biasa, Willy mengantarku sampai Reve sebelum akhirnya ia jaga distro miliknya, saat aku datang, ternyata anak-anak sedang memasukan beberapa barang ke dalam bagasi mobil. Andi memberiku cangkir berisi susu sapi rasa original saat aku menghampirinya, “Lho Willy nggak ikut?”
“Dia nggak mau ikut, menurut dia hari ini hari sakral buat kita semua jadi dia nggak mau ikut ke panti,”
“Maksudnya?”
“Ya maksudnya dia pengin hari ulang tahun Reve di panti khusus buat anak-anak Reve aja, dia nggak mau ganggu,”
“Owh gitu,” kata Andi sambil menyeruput susu panasnya.
“Udah beres semuanya?”
“Udah, tinggal berangkat aja. Ntar kita sarapan di jalanan aja ya, biar ntar pulangnya kita bisa buka rada sorean,”
“Oke deh. Manut aja kalau jadwalnya udah kamu atur,”
Hari ulang tahun Reve kembali kita rayakan di panti asuhan untuk anak-anak Down sindrom, bukan bermaksud dok ingin jadi relawan atau karena hal lain. tapi, mengunjungi anak-anak penderita kelainan kromosom yang membuat mereka menderita hambatan kecerdasan dan bercetak wajah datar, menjadi hal yang selalu kami nantikan tiga-empat bulan sekali. Pelipur lara dan pembagi kebahagiaan yang akhirnya menjadi candu.
Sejak waktu SMA dulu, disela-sela waktu kami berwirausaha, aku dan Andi memang sering menjadi relawan, bahkan kami berdua saling bersaing. Kami berdua bersaing banyak-banyakan menghabiskan waktu di panti asuhan dan panti jompo, waktu itu memang jiwa muda kami mengelabui apa yang sebenarnya kita berdua sering lakukan. Tapi, akhir-akhir ini kita tahu apa yang sebenarnya kita lakukan saat menjadi relawan.
Di tempat spesial itu, kami bisa mengambil banyak pelajaran tentang kehidupan, memang tak ada obat untuk menyembuhkn mereka, karena sebenarnya memang kondisi mereka sama sekali tak bisa dan bukan untuk di sembuhkan. Banyak orang yang bilang kalau anak-anak down sindrom itu tak normal, walaupun aku sama sekali tak tahu standar normal mana yang orang-orang itu sebut. Tapi ada satu hal yang membuatku tak ingin jauh-jauh dari mereka untuk waktu yang lama, kepedulian. Anak-anak down sindrom itu membuatku peduli terhadap mereka dan mereka juga kerap kali menunjukkan kepedulian yang lebih besar terhadapku.
Sering kali kita dibuat tersentuh dan hampir menangis oleh mereka. Saat kami datang, pelukan dan senyuman mereka seketika meruntuhkan dinding pertahanan ego kami. Pernah suatu kali saat aku berulang tahun dan membuat syukuran kecil-kecilan bersama mereka dan sahabat-sahabat terdekat, seminggu kemudian mereka memberikan kartu ucapan terimakasih. Kartu ucapan iterimakasih itu tidak dibuat dengan bagus, karena tangan mereka sama sekali tak bisa membuat sesuatu dengan rapi. Tapi, sekedar membaca apa yang berusaha mereka katakan dengan bahasa kita effeknya sanggat luar biasa terhadapku.
Setelah kira-kira satu jam kami bermain bersama mereka, aku dan Andi keluar ruangan. Sekedar mencari udara segar dan mencairkan beludak macam perasaan yang membuat dada kami mendadak sesak.
“Udah deh, kalau mau nangis, nangis aja. Nggak usah malu. Kaya lagi sama siapa aja,” seloroh Andi langsung menyentuh perasaanku, “lagian nggak semua air mata itu jahat kok Bell. Kalau kamu masih bisa menangis, tandanya kamu masih punya hati, jadi menangislah,” tambah Andi pelan, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca saat mengatakan itu, “bagiku, anak-anak itu adalah orang-orang jenius di dunia ini Bell,”
“Lha kok iso Ndi?” jawabku dengan suara parau dan nada bergetar. Akhirnya air mataku tumpah juga di depannya. untuk kesekian kali aku tak bisa menahan air mata di hadapannya.
“Karena mereka mengajari satu bahas penting di dalam kehidupan ini Bell,” katanya pasti, mengulurkan sapu tangannya padaku, ‘mereka mengajarkan apa yang dimaksut bahasa emosi,”
Aku mengangguk setuju sembari mengusap air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti.
“Kita emang nggak bisa Bell bicara secara intelektual ama mereka, kita nggak bisa bahas teori-teori fisika kuantum atau flat earth sama mereka. Kemampuan mereka merangkai kata-kata sama sekali nggak lancar, tapi mereka bisa langsung tahu apa yang sedang kita rasakan, entah suasana hati kita lagi baik, jelek apa kecewa, cuma lewat satu tatapan,” jelas Andi tenang, kata-katanya merasuk ke dalam hatiku, “mereka mengajari kit bahasa itu, Bell. Bahasa yang enggak mikirin orang, tapi bahasa untuk merasakan orang. Mereka adalah orang yang paling peka yang pernah aku tahu. Mereka adalah para jenius bahasa emosi. Kita belajar banyak sama mereka bagaimana caranya peduli sama mereka, saat kata-kata tak lagi bisa mengungkap makna.”
“Satu hal yang aku suka dari kamu Ndi, kamu selalu bisa melihat banyak hal dari kacamata yang berbeda,” ucapku tulus, sering aku merasakan hal itu, hal yang baru saja Andi katakan, tapi aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan apa yang ia sebut bahasa emosi, “mungkin karena itulah aku selalu menantikan saat-saat seperti ini. Belajar dari belas kasih memberi kita banyak kebahagiaan,”
“Tentu,” jawab Andi pasti, “kita belajar makna kehidupan sama mereka Bell, teori-teori asik dan renyah yang sering kita debatin nggak bakal ngasih makna kehidupan secara mendalam sama kita. Atau ilmu-ilmu yang kita pelajari di sekolah, semuanya itu hanya kerangka dasar saja. Saat itulah aku sadar kalau makna kehidupan ini adalah memberi tanpa pamrih, berbagi kebahagiaan sama banyak orang. Hidup bukan tentang apa yang bisa kita kumpulkan sebanyak-banyaknya, tetapi apa yang mampu kita lepas dan beri sebanyak-banyaknya.” Senyum tulus menghiasi wajah Andi menjelang siang hari itu. Matanya berbinar, wajahnya sumringah. Aku tahu jika bibit-bibit kebahagiaan tumbuh pesat di dalam hatinya.
“Udah yuk masuk, ntar bisa-bisa kita sampai malem disini kalau acaranya nggak dimulai-mulai,”
Saat aku dan Andi menghampiri anak-anak down sindrom itu kembali, mereka langsung berlari ke arah kami, menghambur dengan pelukan hangat. Di tempat ini, dengan mudah kami memetik kebahagiaan yang melimpah ruah. Anak-anak ini, tak akan pernah bertengkar dengan kami soal agama, ideologi, pandangan politik, orientasi seksual, ilmu pengetahuan atau beragam hal lain yang membuat kita mengotak-kotakan diri. Meeka langsung memeluk ketika mereka tahu kalau kita membutuhkan pelukan, mampu menerima kehangatan mereka, adalah satu hal terbaik yang bisa kita lakukan di dalam kehidupan.
Kunjungan yang kami niatkan singkat selalu menghabiskan waktu kami hampir seharian sekedar untuk menemani mereka bermain atau hanya menunggu mereka di ujung ruangan. Saat kami pamitan untuk pulang, pelukan hangat menghantar kami hingga gerbang.
Ratapan dan tangis sendu membuat kami semakin tak tega meninggalkan mereka. Setelah berjanji untuk kembali lagi, mereka akhirnya memperbolahkan kami untuk pergi, lambaian tangan kuat-kuat hingga mobil kami tak lagi tampak di pelupuk mata menyisakanku dalam dera air mata panjang.
Tiga malam setelah hari ulang tahun Reve, Willy pulang ke rumahku dengan keadaan memprihatinkan.
Bersambung...