“Ke pantai yuk!” tawar Willy menggiurkan saat sampai di pelataran parkir Reve. Semenjak mereka meresmikan hubungan, hampir setiap hari Willy mengantar jemputnya di cafe.
“Sekarang?” jawab Abell sambil cengengesan. Ia dan pantai, adalah hal yang tak bisa di pisahkan. Entah mimpi apa dia kemarin malam hingga tiba-tiba ia ditawari ajakan yang mustahil untuk dia tolak.
“Iya!” balas Willy penuh energi, senyum merekah di wajah Abell, “udah disiapkan kok baju ganti sama keperluan yang lain,” kali ini, ujung bibirnya bisa ia rasakan mau menyentuh kuping.
“ Lho kok iso?” katanya tambah semangat.
“ Uwes di siapke Andi kok wingi, dadi dino iki gur karek mangkat thok, niate gawe kejutan Bell ,”
Hampir saja, Abell lompat-lompat kegirangan di lahan parkir itu saking senangnya mendengar hal itu.
“Kalian berdua baik banget sama aku!,” pujinya tulus, “terus tasnya mana?”
“Udah ada di dalem cafe, ambil aja,”
“Siap bos!,” kata Abell cekatan, ia lalu berlari masuk ke dalam cafe, mengambil tas punggung berukuran besar, berpamitan dengan Andi, lalu kembali ke halaman parkir dengan senyum gembira.
“Mau ke Jogja apa ke Pacitan? Yang deket aja ya, kalau ada libur panjang, baru yang jauh sekalian nggak masalah,”
“Jogja aja deh Will, kalau malem, nongkrongnya enak,”
“Motoran apa mobilan?”
“Motor aja, biar semangat petualangannya lebih dapet!”
“Halah, gaya, cuma ke Jogja aja pake semangat petualangan segala,”
Sedetik kemudian, Abell langsung duduk di jok belakang sambil memeluk erat Willy, Cabut!!!”
. . . . # # # . . . ...
Debur ombak berulang menghantam kasar tubuh Abell, membuatnya kuyup. Berulang ia berlarian di bibir pantai, mengelinding di atas hamparan pasir, menabrakan diri saat ombak besar datang, atau sekedar bermain pasir dan membentuknya menjadi sebuah rumah dan tak lupa juga menggambar hati di sana. Menuliskan namanya sendiri, gambar hati dan nama Willy di bawahnya, kemudian terbahak sendiri. Seakan-akan minta dimaklumi karena tingkah bocahnya.
Sementara Abell mengulang masa kecil di hadapan samudra, di salah satu balai-balai, Willy cukup memandanginya dan tersenyum melihat kekasihnya bahagia. Berteman secangkir kopi pahit, bir dan batangan rokok, ia rekam betul-betul momen-momen bahagia itu. Kejutannya berhasil.
Belasan menit kemudian, Abell menghampirinya dengan wajah sumringah dan nafas terengah-engah, “Laper banget! Kamu udah pesen makan apa belum Will?”
“Udah kok,” jawab Willy santai, lalu menyerahkan handuk tebal untuk menyeka bulir-bulir air yang menempel di kulit kekasihnya itu, ”bentar lagi juga bakal dateng makanannya,”
“Nanti aja,” tolak Abell, “aku masih mau main-main lagi,”
“Lagi?” tanya Willy memastikan, sudah hampir satu jam kekasihnya bermain-main di atas pasir, dan itu rupanya belum cukup untuknya.
“Ya, sampai matahari tenggelam,” jawab Abell mantap, lalu terbahak sendiri, seakan minta dimaklumi, “aku kaya anak kecil ya?” tanya Abell sambil melahap roti tangkup di depannya.
“Iya kamu kaya anak kecil, tapi aku seneng lihat kamu bahagia kaya gini. Belum pernah aku lihat kamu segirang ini sebelumnya,”
Abell terbahak.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Willy kebingungan.
“Nggak ada yang salah sih Will, tapi ya... dari dulu memang aku tergila-gila sama laut, aku jatuh cinta sama deburan ombak, aku bahagia karena lihat karang, atau ikan. Aku juga hobby ngumpulin pasir dari banyak pantai, kapan-kapan aku lihatin deh koleksi pasirku!”