Hujan melumat tubuhku dalam kuyup. Air terus mengucur deras dari baju yang melekat tubuhku, dan kini menetes-netes di wajah keramik. Di kontrakan salah satu sahabat terbaikku, aku mengais bantuan. Berharap dia mau mengurusku selama beberapa waktu kedepan saat aku kalut.
Handuk dan cangkir teh panas menyapa diriku pertama kali saat aku mengetuk pintu rumah kontrakannya. Dia yang tahu sejarah kelam dirikupun tak menyangka jika aku bakalan benar-benar menganku kepada keluargaku. Satu tahun terakhir, aku selalu membagi rencana gila ini padanya."Kadang aku nggak habis fikir sama kamu Bell. Menurut standar banyak orang hidupmu mendekati sempurna lho! Keluarga berada, lulus caum laude dari kampus ngetop, ganteng iya, pinter apalagi. Eh, malah ngaku sama ortu kalau kamu Gay. Bell, Bell, nyia-nyiain hidup kok kaya gitu banget," cerocosnya sambil mengeleng-gelengkan kepala. Terheran dengan langkah yang aku pijak.
"Ndi," kataku pasti penuh penekanan. Satu tahun terakhir ini dia selalu berusaha mengalihkan keinginan gilaku, enek jika malam ini dia akan menceramahiku lagi, "dari awal kita temenan dulu, aku selalu jujur cerita kamu tentang segala hal. Taiknya aku, bangsatnya aku, babaiknya aku. Kamu tahu. Semua hal aku ceritain sama kamu tanpa tedeng aling-aling atau editing. Jadi aku mohon, jangan marahin aku malam ini, biar aku marahin diriku sendiri hehehe... sudah lama ini jadi keputusanku, ok? Kamu juga tahu ini," kataku pasti setelah mengeringkan rambutku. Kusambut cangkir teh panas di depanku, kudekap dengan telapak tangan mengkerutku sambil menyeruputnya perlahan.
"Kamu juga tahu kalau Bell, kalau aku selalu dukung apapun pilihanmu. Seratus persen malah. Tapi aku ngomong gini cuma ngingetin kamu satu hal aja Bell, penyesalan itu datang paling akhir. Aku cuma nggak mau kamu nyesel aja nantinya,"
"Udah nggak ada gunanya Ndi, mau nyesel apa nggak sekarang. Lagian langkah ini udah aku ambil. Tapi yang jelas aku nggak bakal nyesel sama keputusanku ini," yakinku pasti.
Kutenggak genangan teh hangat dalam mulutku, menggelontorkan masuk ke dalam tenggorokanku, berusaha menyelinapkan kehangatan di dalam tubuhku, "mungkin lima atau sepuluh tahun lagi aku bakal kembali mengingat-ingat saat ini, kenapa aku ngelakuin hal ini? Atau kenapa aku bisa seceroboh itu? Tapi bagiku itu sepadan Ndi. Dua puluh satu tahun aku jadi yang mereka mau, nurut, manut semua yang mereka pengin.
"Kamu tahu sendirilah gimana perjuanganku buat ngebahagiain mereka. Wujudin keinginan-keinginan mereka. Tapi kita juga sama-sama paham Ndi kalau manusia itu nggak pernah tahu pasti kapan mereka harus terus dan berhenti. Sampai kapanpun mereka nggak bakal puas. Ayahku punya harapan sendiri, ibuku juga, kakakkupun juga seperti itu. Selama ini, aku hidup buat wujudin harapan-harapan mereka. Mimpi mereka. Terus yang nanti bakal wujudin keinginan sama mimpiku siapa Ndi? Anakku? Ini lingkaran setan. Sama sekali nggak adil untuk siapapun. Bagiku semuanya sudah cukup. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Nggak jadi orang lain, atau wujudin mimpi-mimpi orang lain. Apapun yang terjadi nanti, aku terima. Aku iklas. Aku anggap ini tiket bebas yang harus aku bayar untuk jadi diri sendiri."
Hujan masih mengiris-ngiris angkasa saat aku dan Andi memutuskan diam untuk beberapa saat. Aku tahu jika mulutnya gatal untuk membalasku, tapi malam itu ia memilih untuk tak melanjutkan topik ini. Dan aku sanggat menghargai hal itu. Berbulan-bulan kami berdebat tentang langkah dan akibat saat aku akan mengungkapkan jati diriku. Malam inipun, aku mengira jika akan kita berdua habiskan dengan perdebatan kolot. Tapi dia hanya diam, tak ingin menambah beban untuk hari ini.
Ia lalu beranjak ke dapur, membuatkanku makan malam. Membantuku mengangkat beberapa barang ke kamar, lalu menyuruhku membersihkan diri. Guyuran air di kamar mandi menyadarkanku akan sudut bibirku yang robek dan hidungku yang memar. Hantaman tangan ayahku membuat bibir dan hidungku ringsek. Darah segar masih senantiasa menetes dari lubang hidungku saat aku mandi.