Jogja, 10 january 2021
Di tengah doa aku berbisik kepada semesta
Akhirnya aku paham dengan laku yang kau tunjukkan
Aku merasakan kehadiran sayupmu
Mendengar untaian nada bekumu
Terjerat pesona gemingmu
Aku hanya butuh sedikit sadar untuk sekedar paham
Dan kini aku berdoa untuk seseorang disana
Doa terbaik, tertulus tanpa mengharap akan balas
Dengan kesadaran yang bertumpu rasa percaya ini
Aku ingin ucapkan terimakasih atas pelajaran hidup yang teramat mahal ini
Tentang keiklasan,
Tentang cara merelakan,
Tentang kasih untuk membebaskan
Tanpa aturan, tanpa ikatan, hanya butuh setetes kesadaran
Kini aku paham bagaimana caramu melepaskan
Tanpa seuntai kata, kau mengajariku dalam diam
Membiarkan riak lautan yang beriku pelajaran “pelepasan, hanya pelepasan”
Aku hanya butuh sesekat waktu untuk paham
“pelepasan, hanya pelepasan”
Dan sekarang aku paham.
. . . . # # # . . . ...
Kutatap dunia bagai sahabat lama. Aku kembali ke rumah sepulang dari rumah sakit. Saat kuhabiskan waktu sendirian di dalam kamar, tak ada lagi sudut-sudut yang membangkitkan kenangan dan mengedor jantungku, rumahku kembali terasa hangat, wajar dan nyaman. Aku masih mengenang Willy di beberapa tempat, tapi ia hadir layaknya kenangan yang membuat hatiku hangat dan mengucapkan terimakasih akan banyak hal.
Satu hal yang sampai sekarang masih aku sembunyikan dari Andi. Sejak kejadian di rumah sakit itu, aku merasa ada perubahan besar di dalam diriku. Aku mulai terobsesi dengan sosok gadis yang menuntunku melewati lorong menuju cahaya. Sosok yang semakin lama terasa nyata. Sosok berambut sepundak, rupawan dengan sorot mata jenaka dan selalu tertawa. Sosok yang membuatku yakin jika dia bukan hanya produk mimpiku tetapi ada, hidup dan nyata. Sosok yang dapat mengalihkan perhatianku dari Willy.
Bagaimana mungkin aku bisa begitu tertarik dengan sosok itu? Padahalkan dia seorang wanita, bukan lelaki seperti yang selalu aku dambakan? Apakah aku seorang Biseksual? Bukan gay seperti yang aku gembar-gemborkan selama ini? Bagaimana bisa aku mengurai satu persatu pertanyaan dengan sosok yang belum bisa aku raba? Kuputuskan untuk memendam perasaan dan pertanyaan-pertanyaan itu seorang diri hingga aku nanti dapat menjawabnya. Terlalu banyak hal yang belum terjawab di dalam hidupku.
Beberapa kebiasaan berubah sejak aku gagal bunuh diri, aku memiliki hobby baru untuk mengisi jeda kosongku, aku kembali belajar melukis, bermain-main dengan polesan warna secepat sudut rumahku penuh dengan beragam lukisan di antara rak buku yang menjulang hingga langit-langit rumah. Tak butuh lama jari-jariku untuk mengingat tehnik-tehnik gambar yang dulu kerap menyapaku lebih dari dua tahun sejak lulus SMP hingga akhirnya aku mulai berwirausaha dan meninggalkan kursus lukisku. Senin, jatah liburku di Reve, selalu aku gunakan untuk keliling sudut-sudut Solo dan Jogja untuk berburu buku-buku terbitan lama, lalu kurombak ulang dekorasi rumahku selama beberapa bulan sekali sesuai suasana hatiku.