Pertengahan September
Sisa-sisa perayaan kelulusanku meraih gelar sarjana masih terasa membaui udara. Gempita kegembiraan tak lekas membuat hatiku bungah bukan main, malahan aku nampak menjadi seonggok daging penuh siksa ditengah kegembiraan keluarga yang begitu melimpah ruah dan tak berkesudahan.
Pujian beruntun sanak keluarga karena aku lulus dengan IPK di atas 3,5 sama sekali tak bisa membuat diriku tergoda untuk merasakan kebahagiaan yang sama. Aku terjebak dalam labirin fikiran yang dua tahun ini mengukungku, dan menguat beberapa bulan terakhir ini.
Sudah lama aku fikirkan hal ini matang-matang. Bahkan hingga kematangan dan akhirnya busuk digerogoti belatung. Berkali-kali aku ditentang sahabatku paling dekat, tapi rasa muak terlanjur kuat menancapkan tahta di dalam dada. Mengkudeta rasa pengecutku akan kaca mata dunia luar. Saat aku akan mengungkapkan jati diriku pada keluargaku.
Malam itu, segaris hujan lebat turun bersama langit kelam yang terus bersendawakan halilintar, terbahak bersama gemuruh alam di atas sana. Di dalam kamar, semua pakaian dan barang-barangku sudah tersimpan rapi dalam sebuah koper besar. Sebagian besar barang-barangku sudah aku titipkan di rumah kontrakan sahabatku beberapa minggu terakhir demi mengantisipasi hal yang mungkin terjadi. Dan yang pasti terjadi.
Segala kemungkinan telah kuperkirakan. Aku diusir. Aku diasingkan. Aku ditinggalkan. Aku di rehabilitasi. Aku di kebiri. Aku di hipnoterapi. Semua kemungkinan sudah aku fikirkan masak-masak. Sudah kusiapkan pula diriku untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Aku rela dan siap melanjutkan hidup tanpa mereka. Menurutku, itu semua tak ada apa-apanya daripada pengorbananku selama dua puluh satu tahun ini. Aku lelah bermain petak umpet dengan kemunafikan.
Dengan langkah pasti aku menghanyutkan diri di ruang keluarga. Bergabung dengan ayah, ibu dan kakak perempuanku yang masih gempita dalam perayaan. Tenggakan minuman keras di kamarku cukup untuk membumbungkan rasa percaya diriku. Bukan karena aku gemetar menghadapi dunia luar yang sebentar lagi mengecapku, tapi semata-mata hanya karena aku butuh dorongan untuk berdiri tegak saat tak ada lagi dukungan dan pengertian di keluargaku.
Pahit aku lewati lorong dan beberapa ruang tempat segala kenangan bersemayam. Ku hembuskan nafas perlahan, ini detik-detik terakhir aku tinggal di tempat ini. Kuhikmati benar sisa waktu yang mengalir disekelilingku.
Kakiku membeku, seakan-akan terpaku dilantai berlapis kayu. Lama aku mematung di salah satu sudut rumahku itu. Sudut favorit keluargaku. Sudut tempat segala foto pembeku momentum yang perlahan dilupakan sang waktu. Kuresapi lagi kenangan-kenangan yang hadir dalam potret-potret kamera itu. Momentum-momentum yang diabadikan di selembar kertas berbalut bingkai foto. Kumpulan sekat-sekat hidup yang berusaha kami kenang berulang. Berat langkah kakuki saat menapaki lantai kayu tempat duapuluhan tahun menghabiskan waktu.
Tanganku bergetar saat menarik lengan kursi makan tempat keluargaku berkumpul. Kutarik nafas dalam-dalam dan melepasnya perlahan. Aku siap. Aku siap menghadapi ketidakpastian dunia.
"Yah, aku pengin ngomong sesuatu," kataku pasti. Tenang, kutatap mata ayahku. Ku sampaikan gelondongan emosi jika aku sungguh-sungguh ingin berbicara dengannya. Kuedarkan pandanganku, seketika ibu dan kakak perempuanku memperhatikanku.
Tak butuh waktu lama ayah meresponku, "Wah, anak kebanggaan ayah mau ngomong apa nih?" tanya ayahku dengan rona wajah gembira. Bahkan kedua pipinya masih terdapat semburat warna matang akibat rasa bahagia yang terlalu memabukkan. Sedari kemarin ia menengguk anggur kebahagiaan, dan malam ini, kebahagiaannya akan mendapatkan penawar. Brotowali super pahit yang tak akan pernah ia lupakan. Seumur hidupnya.
Susah kutelan ludah yang menjelma menjadi duri di tenggorokan. Suara yang mendadak serak, menyapa saat aku mulai bicara, "Yah, Bu, Kak. Abell pengin bikin pengakuan sama kalian semua,"