"Willy," kata lelaki tambun itu renyah mengundang selera, memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan. Senyum cengegesan dan gaya slengean langsung menyedot perhatian Abell saat pertama kali bertemu.
"Abell," balas Abell simpul, lalu menyambut uluran tangannya, merasakan kehangatan yang berkumpul disana dan kehangatan di matanya. Ia tersenyum saat mata mereka berpapasan. "Lama ya tadi nunggunya?"
"Ah, enggak." Sahut Willy cepat dengan nada menyenangkan, "lagian tadi nyantai kok jalannya. Nak ge koe, sedino yo tak enteni Bell,"
Senyum kembali timbul di wajah Abell, " Halah, tenane?" ujar Abell sedikit kikuk.
" Yoiyolah! Ngajak ketemuan koe we ndhadak nunggu ameh setahun we tak lakoni, mosok yo gur nunggu setengah jam we ra iso ?"
"Sorry Will, mau ono urusan dadakan soale ,"
" Masalah cafemu ?"
"He'em" jawab Abell sambil mengangguk.
Senyum terulas di wajah Willy, membuat Abell senantiasa ingin terus memandangnya, "Nggak masalah Bell," jawabnya mantap, " rep ngopi ? Koyone mantep nak angine semriwing ngene ngopi bareng,"
"Ide yang bagus!" jawab Abell antusias, " ayo lakndhang ! Sikat!"
Berteman kopi dan pisang goreng, mengalirlah beragam topik pembicaraan antara mereka berdua. Bagai sahabat yang lama tak jumpa, mereka berkisah tentang banyak hal, lalu tertawa, tercengang, terbahak, bingung, tersenyum simpul saat ada hal yang tidak dimengerti, mengerinyit, hingga terpingkal karena banyak hal.
Ternyata Willy penuh kejutan, dan itu membuatnya semakin menarik bagi Abell.
Setelah cukup menyumpal perut, mereka lalu meninggalkan warung yang berjajar di bawah tulisan New Selo dan berjalan menyusuri track pendakian gunung Merapi. Satu persatu mereka mulai bercerita tentang diri masing-masing, seakan-akan menjalin hubungan intens melalui telefon dan media sosial setahun terakhir tak berarti apa-apa untuk mereka. Hanya ada warna coklat, hijau dan biru yang terhampar di track menuju puncak Merapi tersebut, tapi di dalam hati Abell beragam warna silih berganti untuk saling mengisi dan melengkapi.
Seiring jalan yang kian menanjak dan berdebu, Willy dan Abell kembali menurut kisah yang mereka ceritakan lewat pesan singkat atau telefon. Membenarkan apa yang salah, melengkapi apa yang kurang, menceritakan kembali kisah yang sudah genap mereka lakukan untuk mengalami kembali pengalaman yang ingin mereka rasakan berdua.
Setelah berjalan urang lebih empat atau lima kilometer dari New Selo, mereka memutuskan untuk istirahat sejenak di salah satu tebing. Berteduh di bawah pohon rindang berdaun lebat, mereka berdua duduk bersisian. Mendengarkan angin yang berderu sendu dan menggoyangkan dedaunan, atau sekedar menyapukan telapak tangan di atas rerumputan tempat tubuh mereka bersemayam.
Willy merebahkan tubuhnya diatas rerumputan dan Abell duduk tenang di sampingnya, sorot matanya menyusuri warna hijau dedaunan yang berbeda. Sekali-kali dia juga menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berusaha meresapi aroma pegunungan yang terlampau memabukkan untuknya.
" Wes sue yo ora nek gunung ?" tanya Willy dengan wajah sumringah, memandang Abell dengan tatapan memabukkan.
" Iyo,Will," jawab Abell kalem, mengulas senyum sambil membuang pandang pada tebing di depan, "wes sue banget. Kaet aku diusir ko omah karo bapakku, terus aku mulai mbangun cafe karo Andi. Aku ra pernah dolan nek endi-endi, paling gur nonton nek bioskop thok. Akeh seng kudu diurusi siji setengah tahun wingi ,"
Willy mengangguk pelan, " Tapi nyatane yo saiki cafemu rame terus ngono Bell, ra sia-sia tho siji setengah tahun ora mblayang ,"
" Asline ora gur siji setengah tahun thok Will gawe cafe kui. Nak diitung-itung yo arep limang tahun setengah," Jelas Abell sambil membayang masa-masa awal perjuangannya dengan Andi, "soalnya kan aku sama Andi buat coffe both dulu di beberapa tempat, terus kedai susu kecil-kecilan baru akhirnya bisa buat cafe itu,"