Angin malam menampar-nampar ringan wajah kami, menghempaskan nikmatnya udara Solo dikala malam hari, mengingatkanku akan kenangan-kenangan lama. Solo memang tak semenarik Jogja, tapi selalu sensasi yang beda di tempat ini. Mungkin karena dari kecil aku hidup di Jogja dan baru saat kuliah memutuskan untuk pindah kesini, atau mungkin jika ditarik alasan yang lebih personal karena Sololah yang menjadi titik balik hidupku.
Mulai dari tempat kuliah, mengembangkan both kopi dan susu disini, mulai hidup mandiri, dibuang dari keluarga, terwujudnya cafe impian, bertemu dengan Willy, tapi yang paling penting adalah, aku bisa hidup baik-baik saja dan bahagia. Karena rasa sakit dan tertekan yang dulu terasa menghimpit, kini perlahan melepaskan jeratnya saat aku mulai bisa menerima konsekwensi atas pilihanku.
Dibelakang boncengannya, aku hanya diam memeluk Willy, menatap lampu-lampu di jalan yang silih berganti memendari kami. Sekuat mungkin aku menahan tawa dan rasa malu yang membuncah, sehingga membuatku beberapa kali membenamkan wajahku dibalik punggung Willy yang hangat dan nyaman. Sambil menyetir motor dengan kecepatan pelan, Willy merokok dengan santainya, menghembuskan asap dengan hikmat seakan-akan tak ada yang baru saja terjadi. Kupererat pelukanku, berterimakasih atas cinta yang terus tumbuh.
“Kamu kedinginan?” tanya Willy penuh perhatian.
Kulonggarkan sedikit rangkulan tanganku di lingkar perutnya, “Enggak, kok,”
“Lha kok kenceng banget meluknya? Susah nafas tahu!” protesnya.
“Akukan meluk perutmu bukan dadamu!”
“Ya kan aku nafas lewat pori-pori di perutku Bell,”
“Dasar dodol!, Willy dodol!”
“Kamu beneran nggak kedinginan?”
“Enggak Will, kepanasan iya. Sampai gerah tubuhku, daritadi cekikikan sepanjang jalan. Kamu sih, konyol banget jadi orang,”
“Sekali-kali nggak masalah kali Bell, kita juga butuh hal-hal konyol untuk dikenang,”
“Sekali-kali apaan? Kamu konyol tiap hari sayang, kamu tuh hobby ngerjain orang tahu nggak?” jawabku setengah merajuk,“dari dulu aku terus yang jadi korban kekonyolanmu,”
Setelah beberapa kali meraskan tubuhku bergetar, akhirnya ia menepikan sepeda motornya, melepas jaket kulitnya dan menyuruhku memakainya.
“Aku nggak kedinginan kok Will,”
“Udah pake aja, aku kebal kok sama angin malam. Kamu lebih butuh jaket itu daripada aku,” jawabnya sedikit memaksa “lagian aku malah kegerahan gara-gara kejadian tadi,”
“Lha kamu sih, ngapain juga pake nantang-nantang gitu?”
“Namanya juga spontan Bell, pas liat stand pakaian dalem tiba-tiba ide itu muncul, yaudah deh. Dibuat ngerjain kamu aja, pasti lucu,”
“Itu nggak lucu Will, itu konyol dan menjengkelkan!” semburku langsung, masih belum bisa menerima dikerjai Willy seperti itu, “malu tahu nggak dilihatin ibu-ibu tadi pas beli cawet. Kamu nggak tahu sih gimana ekspresi kangetnya ibu-ibu itu pas aku muncul di tengah mereka. Otak kamu kayaknya udah beneran sengklek deh sayang, kapan-kapan ke dokter yuk,”
“Ngapain ke dokter segala?”
“Periksa dong, medical chekupstandar aja, penasaran aku. Kayaknya beneran ada yang nggak beres deh sama otak kamu,”
“Enak aja kalau ngomong, dari dulu otakku emang gini ya sayang. Kamu yang santai, nggak udah medical chekup segala, semua onderdilku baik-baik aja kok. Apalagi yang ada di selakangan,”