Lewat balkon kamarku, kutatap malam yang mulai turun, menelanjangi alam dengan warna hitam pekat. Seakan-akan ada seekor gurita raksasa di atas sana yang menumpahkan tinta berwarna kelamnya. Satu persatu lampu ditiang pinggir jalan menyala, menebarkan pijar keremangan di antara kegelapan yang terus menggerus perlahan.
Sengaja tak kunyalakan lampu, kubiarkan diriku tenggelam dalam kelam. Teh yang tadi mengepulkan asap tipis, kini sudah dingin dan tandas, menyisakan beberapa butir daun teh yang menggenang di dasar gelas. Pintu kamarku membuka pelan, menyuntikan cahaya lampu yang mendadak begitu menyakitkan untuk bola mataku, Willy mendapatiku sendirian disana.“Kamu sedang apa?” ucapnya dengan nada jenaka, lengkap dengan sorot mata yang aku damba, “tak kira tadi kamu ke warung depan lho Bell,” lanjutnya masih dengan nada gembira. Tapi, wajah cengengesannya langsung berubah saat melihat posisi kedua telapak tanganku yang menumpuk, “kamu berdoa?” katanya seakan-akan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Dengan langkah pasti, ia beranjak menghampiriku. Lalu bersimpuh di depanku, dan langsung menatap bola mataku.“Aku nggak berdoa kok,” jawabku dengan nada mengambang. Aku tahu kalau aku tak pandani berbohong di depannya. Ku urai tangkupan tangan di depan dadaku. Suasana canggung lekas menyelimuti kami berdua, terlebih dengan sorot matanya yang medadak memojokanku.
“Ayolah Bell, jujur aja kenapa? Doa itu membuat hati kita tentram,” katanya setengah berbisik, ia genggam erat kedua tanganku. Seakan menguatkanku, “nggak ada aturan juga kok orang yang lagi nyari agama nggak boleh doa,” tambahnya sedikit memojokanku.
Kuhela nafas perlahan, “Kamu benar,” jawabku jujur, lagian nggak ada gunanya berbohong dengan dia, “aku tadi lagi mau doa, terus kamu tiba-tiba muncul,”Ada setitik penyesalan di bola matanya, “Maaf kalau aku ganggu doamu Bell,” ucap Willy sungguh-sungguh, “yaudah aku tinggalin kamu sebentar aja biar kamu bisa nerusin doamu,”
Kucoba mengulas senyum di wajahku, aku benci melihatnya menyalahkan diri sendiri, “Nggak apa-apa Will, lagian ini cuma doa kok. Kamu duduk disini aja,” pintaku mempersilahkan dia duduk disampingku, ”aku pengin sandaran sama kamu,”
Aku tahu kalau kamu sedang bingung, antara ingin memberiku waktu sendiri dan menemaniku menyudahi waktu sendirianku. “Kamu tadi doa apa?” tanyamu sambil menempatkan diri disampingku. Memposisikan diri agar kepalaku bisa bersemayam di pundak lebarmu.“Banyak hal Will, tapi intinya aku bersyukur sama hidup yang aku jalani sekarang,” ucapku penuh syukur, “aku berterimakasih di beri kesempatan buat ada di antara orang-orang berhati baik, dewasa, suportif, dan berfikiran terbuka kaya kamu, kaya Andi dan sahabat-sahabatku di Jogja. Mungkin aku nggak bakal bisa ngelewatin masa-masa sulit kalau nggak ada mereka, orang-orang yang selalu ada buat aku dan bisa diandalkan kapanpun. Aku sangat bersyukur karena hal itu,”
“Kadang orang lain bisa lebih bermakna dari keluarga ya?” kata Willy dengan nada suara bergetar. Seperti ada sesuatu yang menganggu fikirannya.
“Kalau itu relatif sih Will,” jawabku pasti, sorot mataku masih tenggelam diantara kelamnya malam yang terhampar di depan rumahku, “kalau dari sudut pandang anak buangan kaya aku mungkin itu bisa dibenarkan. Tapi kalau dari sudut pandangmu, masa iya sih?”
“Bell,” kata Willy penuh penekanan.
“Udah deh Will, kamu langsung ngomong aja.” Tembakku langsung, “Aku tahu kok kalau ada yang ingin kamu sampein sama aku, kamu aneh soalnya akhir-akhir ini,”
Iya terbahak, “Hahaha... masa sih? Segitu ketahuannya apa?”
“Ya gitu deh.”
“Sebenernya bukan nyampein sih Bell, tapi penasaran aja,”
“Penasaran apa?”
“Kita udah jalin hubungan udah lama. Aku cerita semuanya sama kamu, busuknya aku, liciknya aku, bangsatnya aku, baiknya aku, hebatnya aku. Semua hal aku ceritain sama kamu, jujur apa adanya,” jelas Willy dengan nada suara mantap, ”Tapi, kamu seperti anomali di hidupku Bell. Kamu kaya kabut yang nggak bisa aku genggam. Awan yang nggak bisa kusentuh,”
“Kamu pengin tanya apa sih Will? Nggak usah berbelit-belit deh,”
“Aku pengin tahu masalalu kamu sayang,” serobotnya langsung, hampir menghentikan detak jantungku, “Aku pengin tahu semuanya tentang kamu, tentang hidupmu, keluargamu, pilihanmu, kepercayaanmu, mimpimu, sudut pandangmu. Aku pengin tahu semuanya secara detail, nggak cuma potongan-potongan kecil doang. Aku nggak bisa selamanya nebak-nebak terus Bell, selama ini aku ngerasa kalau ada sisi yang nggak bisa aku jamah di hidupmu. Sisi eksklusif yang kamu hadirkan untuk dirimu sendiri,” tambahnya menguncang hatiku, aku tak pernah menyangka jika ia akan berbicara panjang lebar seperti itu sebelumnya. Dia benar-benar penuh kejutan,batinku. Tapi batinku juga berkata lain, ada gesekan yang tak aku suka, gangguan kecil yang tak bisa aku terima.
![](https://img.wattpad.com/cover/133141564-288-k844799.jpg)