Setelah mendapatkan kamar di salah satu hotel, mereka berdua rebahan di atas tempat tidur. Berpelukan erat sambil menonton acara di televisi. Melalui tenggakan alkohol, kembali mengalir berbagai topik pembicaraan diantara mereka, dari keluarga, makanan, mimpi, masadepan, ukuran baju, bioskop favorit, perkerjaan, luka masalalu, tempat nongkorng, hingga warna celana dalam dan pengalaman sexual.
Willy tertawa terpingkal-pingkal mendengar apa yang baru saja Abell katakan, "Beneran kamu belum ngapa-ngapain?" tanya Willy dengan wajah memerah, alkohol sudah menguasai kesadarannya. Abell menggeleng. "sama sekali?" sahut Willy cepat, disusul dengan anggukan ringkas Abell.
"Sumpah deh Will, aku masih perjaka!. Belum pernah ngapa-ngapain! sama sekali! Puas?"
"Lha mau ngapa-ngapain nggak sekarang?" tawar Willy genit penuh nafsu.
"Nggak mau ah, pusing kepalaku! Mau tidur!"
"Jangan tidur dulu dong Bell, ngambang nih aku. Temenin aku minum bentar lagi deh, habis itu baru kita bobo bareng,"
" Yo wes cepet! Wes mumet banget ki ndhasku !"
. . . . # # # . . . ...
Pagi menjelang, sinar matahari yang menerobos jendela kaca terlampau menyilaukan. Dalam dekapan pelukan Willy, Abell terbangun dengan kepala pening. Betapa kagetnya dia saat telapak tangannya bersarang di dalam celana dalam Willy. Bersentuhan dengan penisnya yang sedang ereksi penuh. Hangat, keras, panjang dan tegang.
Bingung dengan apa yang terjadi, akhirnya Abell perlahan menarik telapak tangannya dari selakangan Willy. Saat ia hampir mengeluarkan seluruh telapak tangannya, Willy terbagun dan kembali membetulkan posisi tangan Abell seperti saat sebelum mereka bangun. Tersenyum penuh makna, mempererat pelukannya dan mencium jidat Abel dengan mesra.
"Jangan dilepas dulu dong," pinta Willy manja dengan mata terpejam, "lagi enak. Telapak tanganmu aja udah bikin ngaceng , gimana sama selakanganmu ya bell?"
Semalaman mengenal Willy, dengan sifat spontan dan beragam celetukan yang menghiasi perbincangan mereka, tetap membuat Abell tak nyaman. Apalagi pada saat ia baru bangun tidur seperti ini. Ingin rasanya ia melibas kalimat Willy barusan, tapi efek minuman keras semalam terlanjur berkocol keras di kepalanya.
"Udah deh, nggak usah macem-macem,"
"Bercanda bell, bercanda doang," sahut Willy cepat, secepat ia merengkuh seluruh tubuh Abell kedalam pelukannya.
Lama mereka berdua diam, sebelum akhirnya Abell membuka suara, "Kenapa copot baju segala sih Will? Bukannya kemarin dingin banget ya?"
"Kebiasaan Bell, biasanya malah nggak pakai apa-apa. Tapi takut kamu risih, jadi ya pakai boxer doang,"
"Tapi kan kemarin malam dingin banget Will,"
"Kan ada kau buat dipeluk, hehehe,"
"Halah,"
" Reti ra Bell, Wingi koe ngomong opo pas pisanan ndhemek manukku?"
" Ah, emboh Will. Esuk-esuk kok wes ngomongke koyo ngono ," serobot Abell cepat sambil melepaskan tubuhnya dari pelukan Willy.
" Iki tenanan yo Bell, udu guyon, sumpah ," pinta Willy memelas. Kembali menarik Abell kedalam pelukannya.
" Emange aku ngomong opo ?"
" Jaremu manukku ki dowo terus enek urate! Hahah ,"
" Hash! Weslah aku arep adus, sarapan terus bali. Diuntal Andi aku ngko nak dino iki ra ngetok nek cafe ,"