Satu minggu berjalan ringkas, akhir pekan aku menemani kakakku belanja bulanan dan nonton film animasi bertiga bersama Shefina. Pagi harinyam saat akan berangkat ke Reve, aku mendapatkan kiriman dua kardus besar dari Bali tertuju langsung ke alamat rumahku. Saat kubuka, kardus pertama ternyata berisi pernak-pernik dengan ornamen Bali dan kerdus kedua berisi oleh-oleh khas untukku dan untuk ponakanku. Tapi yang membuatku gregetan adalah saat Sobey sengaja mengukir namaku di belasan gantungan kunci replika alat kelamin lelaki saat berdiri tegang. Sialan!.
Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, aku memacu mobilku ke Karangayar, ke rumah kakakku dan memberikan oleh-oleh dari Sobey sebelum akhirnya memacu mobilku lagi ke salah satu club malam untuk menghadiri acara ulang tahun salah satu temanku. Di club malam itu, aku bertemu dengan Sandra, ngedance dan mabuk bareng sambil sesekali ngobrol porno menjurus ke selakangan, tanpa membahas Willy sedikitpun. Kita sama-sama berbahagian untuk malam itu. Jam dua pagi aku pulang sempoyongan, mabuk berat sampai tak mampu berjalan tegak, Sandra mengantarku sampai rumah karena aku sudah tak sadarkan diri.
Mimpiku tentang sosok gadis itu semakin menjadi-jadi. Mimpi menempatkan tubuhku di atas tebing, menatap gadis itu tidur melingkar di atas sebuah kelopak bunga raksasa. Kelopak bunga itu mengambang di sebuah aliran sungai besar yang berujun air terjun curam belasan meter lagi, aku ingin menyelamatkannya. Jadi aku terjun dari tebing dan tiba-tiba tangan dan kakiku terjerat rantai besi, membentangkan tubuhku di udara. Menyiksaku untuk melihat gadis itu tengelam dalam derasnya air terjun curam.
Aku tersentak dan terbangun dengan keringat membasahi kulit tubuh. Paru-paruku kalap mehalap udara, megap-megap karena tubuhku mengejang. Ototku masih mengunci saat kesadaran mulai merambat dan membantuku untuk menganalisa sekitarku. Aku kembali memimpikan gadis itu, pening yang menyiksa menyadarkanku akan apa yang terjadi, detail mimpi tersimpan rapih di otakku. Menyisakanku rasa pilu.
Aku terlelap di atas karpet ruang keluarga dan Sandra tidur di atas sofa bersama seorang teman wanita berambut kelabu sepundak. Ini hari senin, jadi aku bisa bermalas-malas sepuasnya atau tidur dengan jam lebih dari hari-hari biasanya. Tapi, pening di kepalaku terlalu menyiksa untuk diabaikan, jadi kuputuskan untuk mencuci wajah, gosok gigi di kamar mandi, lalu mencari obat sakit kepala sambil membuat sarapan untuk tiga orang.
Pagi itu aku membuat panekuk untuk sarapan, sengaja kupisahkan kuning dan putih telur terlebih dahulu sebelum mencampur bahan-bahannya jadi satu, baru putih telur aku campur belakangan, mendiamkannya lima belas menit lalu baru aku masak agar lebih empuk dan flufy. Saat aku keluar membeli madu sebentar, Sandra dan temannya sudah bangun.
“Dari mana Bell?” tanya Sandra saat keluar dari kamar mandi, temannya menyusul belakangan. Ia menguncir rambutnya tepat di atas kepala.
“Dari alfamart, beli madu buat sarapan,”
“Kamu yang buat panekuk itu?”
“Iya, buat sarapan,“ jelasku, “nggak apa-apa kan sarapan panekuk?”
“Nggak masalah, sarapan nasi padang juga, ayok aja,” jawabnya lengkap dengan tawa, “lama ya kita nggak ketemu, kangen aku karo koe Bell,”
“Aku yo kangen karo koe San,” jawabku tulus.
“Sekarang jalan sama siapa kamu Bell?”
“Nggak jalan sama siapa-siapa,”
“Terus yang sering post foto sama kamu di IG, itu siapa?”
“Owh, itu, namanya Sobey, lagi di Bali sekarang,”
“Dia pacar barumu?”
“Enggak San, baru gebetan doang. Habis putus sama Willy, aku belum pacaran lagi kok,” jelasku berusaha biasa saja.