Peranakan iblis malaikat itu kembali
Tak banyak yang berubah dari perpisahan berbalut tahun
Bongkahan senyum itu... garis wajah itu... dan aroma tubuh itu...
Semua sama, masih sama dan mungkin akan tetap sama
Hanya satu yang berubah, hatiku.
Perasaan yang dahulu berkobar kini terasa hambar
Cinta yang dahulu menggebu kini membatu
Dan rindu yang terus bertalu telah lenyap tertelan waktu
Tak ada lagi pemeran utama, sutradara, figuran atau penulis cerita
Opera sabun telah berakhir
Semua episode masalalu berubah menjadi hantu
Diam di pojok fikiran, menjadi bayang-bayang
Samar, tapi tetap ada. Menunggu untuk diputar ulang, atau diingat sebelum akhirnya memilih lenyap
Dan kini Willy kembali, hadir lengkap untuk sekedar mengingatkan momentum yang dulu pernah berjaya diantara kita berdua.
Bersahabat dengan waktu, kini kita kembali menguliti kenangan. Meretas hal yang perlu diperjelas dan bertanya
Bertanya tentang ratusan senja yang telah berlalu
Tanpa benar-benar tahu apa yang telah tertelan waktu.
. . . . # # # . . . ...
Saptu hadir lebih cepat dari perkiraanku. Aku masih mendiamkan Andi karena peristiwa itu, dan Sobey semakin mendekatkan diri denganku. Dia memintaku untuk mengabariku apapun yang terjadi, semata-mata karena dia hawatir denganku. Aku iyakan saja permintaannya, agar dia tak menghawatirkanku.
Setelah kuiyakan permintaan Willy, ia langsung membalas pesan singkatku lagi, saat ia bertanya mau bertemu dimana? Aku jawab di Selo saja. Tempat pertama kali kita bertemu. Jika ini benar-benar pertemuan kami yang terakhir, biarlah semua ini berakhir di tempat pertama semua cerita ini berawal. Pagi, aku memacu motorku dari Solo, sampai Selo sekitar jam sepuluhan.
Sebisa mungkin aku menenangkan diri, tapi ternyata tak bisa, aku sama sekali tak bisa membuat diriku tenang. Sesekali tubuhku bergetar, menahan sensasi tak bernama yang membuat perut mulas. Aku was-was dengan pertemuan ini, tapi juga ada rasa gembira saat menatap lagi wajah rupawannya.
Kaku tubuhku saat melihat orang yang puluhan bulan alfa dari hidupku, kembali datang menyapa. Aku harap, hal ini tak lagi mempora-porandakan kehidupanku kembali. Saat melihat dirinya membelakangiku, beragam perasaan menyergapku. Beragam kenangan masalalu menghadangku. Aku lama menatap punggungnya, tempat segala kenyamanan dulu bersemayam disana. Aku merindukan saat-saat itu, tapi semua itu sudah berlalu.
Aroma itu, tatapan itu, bibir tipis itu, dan senyum simpul itu. Hampir aku tak kuasa menahan berat tubuhku. Tapi sekuat hati aku berusaha bertahan di depannya. Aku tak ingin ambruk di hadapannya. Aku tak ingin terlihat lemah di depan matanya. Tapi, dia nampak begitu indah dengan pemandangan bukit yang menjadi latar belakang.