Malam memadamkan setengah wajah Reve menjadi buram, kursi-kursi kayu hinggap di atas meja. Lantai telah bersih dari debu dan sampah-sampah sudah bersemayam di belakang cafe, menunggu untuk di jemput petugas kebersihan nanti subuh. Para karyawan beranjak meninggalkan cafe, menyisakan Andi di balik meja kasir. Berkutat dengan nota dan lembaran uang.
“Are you oke?” tanyanya hawatir saat melihatku menghampirinya.
Tak ku jawab pertanyaan itu, kutangkupkan telapak tangan di wajahku. Tubuhku bergetar dan air mata kembali mengalir, tak lama kemudian isakan mulai terdengar dari bibirku. Aku benci tampil seperti ini di depannya, tapi aku tak bisa memendam rasa sakit ini sendiri.
“Kita putus. Hubunganku sama Willy berakhir,” jawabku dengan hati tersayat. Aku sama sekali tak percaya jika kami akan berpisah, “rencana-rencana futuristisku lenyap sudah,”
Detik berikutnya Andi menyelinap ke arah dapur, dan kembali dengan segelas air putih. Ia termanggu melihat air mataku yang berhamburan dan nafasku yang hadir satu-satu. Aku merasa begitu sakit dan dadaku seperti menghimpit.
“Minum dulu Bell,” perintahnya dengan suara tenang, “biar rada tenang,”
Langsung kutenggak air putih di depan mejaku.
“Gimana ceritanya?” lanjutnya ingin tahu.
Satu pertanyaan itulah yang akan membuat malam ini semakin panjang, kuhela nafas panjang, siap-siap meluncurkan sebab musabab hingga aku seperti ini, “Kamu tahukan Ndi, kalau hubungan kita lagi dalam masa jenuh. Sekuat mungkin aku nglakuin apa aja biar hubungan kita tetep utuh. Tapi dia nyerah dan mutusin hubungan kita gitu aja, seakan-akan apa yang kita lakuin empat tahun terakhir nggak ada artinya buat dia,”
“Lha terus kamu penginnya gimana?” tanyanya mencuatkan sampah-sampah di hatiku.
“Ya aku penginnya kita tetap bertahanlah,” sahutku penuh emosi, “kita sama-sama dewasa Ndi, masa iya ada masalah dikit terus pergi gitu aja. Mana pake alesan-alesan klise lagi! Pengecut banget jadi orang!” lanjutku murka, dadaku naik turun saat melontarkan kata-kata itu.
Andi menatapku trenyuh dan kuputuskan untuk menangkupkan tangaku di wajah, air mataku menderas.
“Aku cuma mau sama Willy Ndi,” rengekku pilu, “aku nggak mau pisah sama dia,” tambahku kekanakan.
“Kalian berdua udah sama-sama dewasa lho, udah bisa bertanggung jawab dengan kehidupan masing-masing. Sejak awal harusnya kamu paham, kalau kamu berani buat jatuh cinta ya harusnya kamu juga berani putus terus patah hati juga,”
“Tapi aku cuma mau Willy Ndi,” ungkapku dalam senggukan, “aku cuma mau sama dia, kamu sendiri tahu gimana usahaku buat pertahanin ini semua,”
“Usahamu udah lebih dari cukup Bell, setidaknya kamu udah berjuang buat hubungan kalian berdua. Kamu kalut, makanya nggak bisa berfikir jernih, mendingan kita pulang terus istirahat dan jangan pernah berfikir aneh-aneh,” ucapnya penuh penekanan, aku yang punya riwayat overdosis karena obat penenang tak akan ia biarkan menghabiskan waktu sendiri dengan keadaan seperti ini.
Tengah malam kita berdua sampai di rumah minimalis yang di penuhi kaca sebagai pemisah dengan dunia luar, di ruang keluarga kami makan bubur ayam yang kita beli sebelum perjalanan kemari. Setelah beberapa kali suap, lambungku tiba-tiba terasa penuh, kusambar bir dingin di samping lututku dan ku raih bungkus rokok di depanku, mengambilnya sebatang, menyulutnya dan menghembuskan asap lewat lubang hidungku saat beberapa kenangan melintas di fikiranku.
Wajah, senyuman, tubuh telanjang, spontanitas, kecupan mesra, tatapan nakal, bersama beberapa lagu yang biasa kita nyanyikan mengedor-gedor sudut pikiranku. Aku kembali tak stabil, aku ingin Willy menenangkanku.
Before the Night Ends mengawali malam panjang kami, Bady days, Tears in heaven, Dont You Remember, Broken Vow, Where Did You Go dan Talking to the Moon kita senandungkan dengan penuh emosi sebelum akhirnya aku hanya diam mendengar Andi memainkan banyak aliran musik.
“Kita udah pernah bahas ini sebelumnya, pas kamu mau jalin hubungan sama dia,” kata Andi memulai sesi malam ini, ia letakkan gitar penuh emblem stiker di samping tubuhnya, “kita juga sama-sama tahu Bell kalau hubungan yang kalian jalanin itu nggak ada ujungnya, makanya dulu aku minta kamu jangan pernah jatuh terlalu dalam, apalagi di dunia seperti ini, tapi sayangnya kamu anggep nasehatku dulu kaya angin lalu, kamu malah jatuh cinta habis-habisan,”
Sekuat mungkin aku tak melibatkan emosi saat menjawabnya, “Aku masih inget kok Ndi, apa yang kita bahas dulu pas aku mulai hubungan sama Willy, aku mikirin itu mateng-mateng tapi aku nggak berdaya, semua yang aku jalanin sama dia itu murni spontanitas, dia buat aku ngerasa hidup Ndi. Aku jatuh karena emang takdirnya aku harus jatuh sama dia, dan aku nggak punya kekuatan buat nyangkal,” kataku pahit, kutenggak vodka di depanku sebelum melanjutkan lagi, “tapi cinta cuma sebuah kata sampai kita ketemu sama orang yang bisa kasih definisinya, dan orang itu Willy Ndi, aku jatuh cinta habis-habisan sama dia. Dia itu pas, tepat dan komplit buatku,” kumparan rasa sakit menghanyutkanku lagi, sudah terlalu dalam aku jatuh padanya.
Andi tersenyum sambil menatapku jenaka, ekspresi yang tak singkron dengan keadaanku saat ini, “Aku dulu ngiranya cuma sekedar cinta pertama lho Bell, tapi ternyata kalian lebih intens dari itu, dan itu jujur bikin aku hawatir. Kalian kaya magnet, kamu gerak, dia gerak, kamu berdiri, dia juga berdiri, apalagi tatapan Willy saat ngliat kamu, over protektif banget, seakan-akan dia bakal ngajak anak-anak sekabupaten tempur kalau ada apa-apa sama kamu, segitu intensnya hubungan kalian, dan kalau udah kaya gini? Kalian berdua juga bakal sama-sama terluka dari hati, batin sama fisikmu,” katanya dengan tatapan mengambang, aku tahu benar apa yang sedang ia bicarakan sekarang, kisah cinta yang rumit tak hanya aku yang mengalaminya, “Mungkin aku nggak bisa bantu banyak Bell, karena siksa itu nggak bisa di bagi. Banyak orang bilang cinta itu kaya karet gelang yang di tarik kedua ujungnya oleh dua orang, ketika satu orang melepasnya, akan menyakiti orang satunya. Itu pasti. Pesenku, jangan pernah macem-macem Bell,” kata Andi kembali memberiku peringatan.
“Aku nggak yakin bakal baik-baik aja tanpa Willy Ndi,” tambahku putus asa, “sampai sekarang aku masih nggak paham kenapa dia mutusin aku, aku nggak tahu salahku apa,”
“Ya mungkin udah jatahnya aja kali Bell, hubungan kalian harus berakhir kaya gini. Nggak semua usaha kita bakal ada hasilnya kan Bell?” katanya seperti bicara dengan dirinya sendiri, aku paham jika dia sedang mengingat-ingat masa lalunya.
“Tapi masa nggak bisa di bicarain baik-baik? Kitakan sama-sama dewasa, kalau dia ada masalah, harusnya cerita, bahas sama-sama terus cari solusi, nggak kaya gini. Ini kekanakan banget,”
“Mendingan kamu tidur dulu deh Bell, sekarang itu kamu lagi capek dan kaget, nggak bakal bisa mikir jernih dan nggak bakal dapet solusi,”
“Hatiku kacau banget Ndi!”
“Aku tahu Bell, aku paham, tapi kalau kamu nggak bisa tenang ya nggak ada gunanya, mungkin kalian sama-sama lagi butuh waktu buat sendiri,”
“Masa kurang sih waktu yang aku kasih kemarin sama dia?” kataku kembali mengungkit-ungkit usahaku untuknya.
“Ya mana aku tahu Bell? Kamu tenangin dirimu sendiri dulu deh, kalau besok udah tenang, kamu minta ketemuan sama dia atau gimana buat minta penjelasan,”
Tapi aku tak bisa tenang malam itu, baru setelah ayam mulai berkokok dan adzan subuh mulai bergema, mataku tak lagi dapat berkompromi. Aku terlelap dengan hati kalut, air mata merembes dan dadaku remuk redam. Aku sama sekali tak menyangka jika hal ini bakal terjadi.
Hari-hariku berlalu suram, mataku selalu mendung dan tatapanku seringkali berkabut. Ku habiskan lebih banyak waktu dengan diriku sendiri. Melamun, merenung dan mengandai-andai jika hal ini dan itu tak terjadi dan selalu berakhir dengan air mata